Dalam beberapa hari lagi, saudara-saudara kita sebangsa dan setanah-air yang beragama Islam akan kedatangan “bulan suci”, yaitu Ramadhan. Oleh karena itu, layak kiranya kita mengucapkan, “Selamat menunaikan Ibadah Puasa, semoga Allah SWT berkenan menerimanya sebagai bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.”
Dalam perspektif Socio Motivation, pelaksanaan Ibadah Puasa oleh Umat Islam merupakan bentuk latihan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengendalikan diri, agar ia memiliki kepekaan sosial yang tinggi; selain kepekaan ruhani, yaitu berbakti kepada Allah SWT. Dengan kepekaan sosial yang tinggi, maka ia dapat membangun motivasi yang mampu merespon dinamika sosial.
Seseorang dikatakan mampu mengendalikan diri, apabila ia memiliki kekuatan dan aturan yang ditetapkan dan dipatuhi oleh diri sendiri, yang bersumber dari nilai-nilai agama yang dianutnya (misal: nilai-nilai Islam). Dengan demikian ia dapat berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan visi, misi, dan tujuan hidupnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada dua hal penting dalam mengendalikan diri, yaitu kekuatan (power), dan aturan (rule).
Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuatan yang ada pada diri sendiri, yaitu kekuatan pemikiran, kekuatan sikap, kekuatan tindakan, dan kekuatan perilaku yang ada pada orang tersebut. Demikian pula dengan aturan, yaitu aturan yang ditetapkan oleh diri sendiri dan dipatuhi pula oleh diri sendiri, sehingga dapat mendukung munculnya kekuatan pemikiran, kekuatan sikap, kekuatan tindakan, dan kekuatan perilaku yang ada pada orang tersebut.
Orang yang mampu mengendalikan diri adalah orang yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan (power to control), serta memiliki aturan untuk mengendalikan (rule to control). Bagi orang ini, kekuatan dan aturan adalah dua instrumen pribadi miliknya, yang ia gunakan untuk mengendalikan dirinya.
Kekuatan yang ada pada dirinya digunakan untuk memampukan dirinya dalam membangkitkan energi diri, yang akan mempengaruhi dan membentuknya menjadi orang yang terkendali. Demikian pula halnya dengan aturan yang ditetapkan dan dipatuhi oleh dirinya sendiri.
Baginya, aturan tersebut merupakan beberapa prinsip yang menjadi pegangan hidup. Aturan tersebut berisi instruksi pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku, yang akan memimpinnya agar hidup dalam cara-cara yang biasa, namun mampu memberikan hasil yang luar biasa. Hasil tersebut berupa kebajikan yang mampu membahagiakan manusia, dan menjadikan Tuhan (Allah SWT) berkenan memberi nilai positif padanya atas segenap proses yang dilalui.
Orang yang mampu mengendalikan diri mengerti, bahwa Tuhan melarang manusia mengabaikan akalnya. Seharusnya manusia memanfaatkan dan mengembangkan akalnya, agar ia dapat memunculkan kekuatan pemikiran, yang kemudian akan mendorong munculnya kekuatan, sikap, tindakan, dan perilaku.
Tanpa kesediaan memanfaatkan dan mengembangkan akal, manusia akan sulit mengendalikan diri, karena kekuatan dan aturan yang ia tetapkan dan laksanakan sendiri membutuhkan akal dalam operasionalisasinya. Sementara itu, tanpa kemampuan mengendalikan diri, maka manusia akan hidup dalam ombang-ambing badai individual (dari diri sendiri) dan badai sosial (dari pihak lain).
Oleh karena itu, bangun terus kemampuan mengendalikan diri, serta kembangkan dan manfaatkan akal untuk menggalang kekuatan dan aturan yang mampu membahagiakan. Jadikan kemampuan mengendalikan diri sebagai pendorong munculnya pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang mampu mewujudkan kebajikan.
Bagi Umat Islam, “Selamat menunaikan Ibadah Puasa, semoga Allah SWT berkenan menerimanya sebagai bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.”
Pada bagian sebelumnya Socio Motivation pernah menyebutkan tentang “beralamat sendiri”, yang mengandung makna mandiri. Seseorang dikatakan telah beralamat sendiri, bila pemikiran, sikap, dan perilaku orang tersebut tidaklah dideterminir atau ditentukan oleh pihak lain di luar dirinya. Berbekal kemampuan, kepercayaan, dan potensi yang dimilikinya, orang tersebut menetapkan sendiri pemikiran, sikap, dan perilakunya.
Pengertian “berdiri sendiri” memiliki persamaan dan perbedaan dengan “beralamat sendiri”. Persamaannya, keduanya sama-sama mengandung makna mandiri. Hanya saja, beralamat sendiri belum memperhitungkan kemampuan menahan “badai sosial”, sedangkan berdiri sendiri sudah memperhitungkan kemampuan menahan “badai sosial”.
Badai sosial merupakan sesuatu yang lazim dialami oleh seorang manusia kapanpun dan di manapun ia berada. Semakin besar peran yang dimainkan oleh seseorang dalam mewujudkan kebajikan, maka akan semakin besar pula badai sosial yang menerpanya.
Sebagai contoh, seseorang yang berperan dalam upaya merubah perilaku sekelompok penjudi agar tidak lagi berjudi, akan diterpa oleh berbagai tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang selama ini memperoleh keuntungan besar dari bisnis judi. Semakin besar peran orang tersebut dalam merubah perilaku penjudi, maka akan semakin besar pula tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang mendukung perjudian.
Seseorang yang mampu berdiri sendiri, adalah seseorang yang pemikiran, sikap, dan perilakunya tidak dideterminir atau ditentukan oleh pihak lain di luar dirinya, melainkan dia sendirilah yang menentukannya. Berbekal kemampuan, kepercayaan, dan potensi yang dimilikinya, orang tersebut menetapkan sendiri pemikiran, sikap, dan perilakunya dalam menahan dan menepis badai sosial.
Contoh, seseorang yang merintis usaha rumah makan di lingkungan yang telah banyak berdiri rumah makan, maka selain harus menyajikan makanan yang halal dan sehat dalam suasana nyaman, ia juga harus memiliki kiat dan jaringan pertemanan yang siap menghadapi intimidasi dari pemilik rumah makan yang telah ada sebelumnya dan gangguan dari preman setempat.
Saat ini, berdiri sendiri merupakan suatu kemampuan yang penting bagi manusia, karena kemampuan ini menjadikan manusia dapat menghadapi badai sosial dengan mata terbuka, dan tetap fokus pada kebajikan yang diperjuangkan. Kebajikan merupakan perbuatan baik yang bermanfaat di dunia dan akherat bagi yang membantu dan yang dibantu.
Untuk itu, seseorang yang ingin memiliki kemampuan berdiri sendiri hendaknya bersungguh-sungguh membangun kecerdasannya. Ia juga harus terus menerus berinteraksi dengan orang-orang yang cerdas dunia dan cerdas akherat. Kata kuncinya, “Jangan pernah kehilangan kesempatan berbuat kebajikan, karena hidup di dunia hanya satu kali dan tak akan terulang kembali.”
Setelah seseorang berhasil: (1) membangun percaya diri, (2) “beralamat sendiri”, (3) mampu mengatur diri, (4) mengembangkan diri,(5) mengangkat diri (6) mampu memperhatikan, dan (6) mampu mengupayakan; adakalanya upayanya tersebut belum berhasil. Untuk itu, ia jangan berputus asa, atau jangan patah semangat. Saat itulah ia berkesempatan memanfaatkan kemampuan sadar-dirinya.
Sebagaimana diketahui, sadar diri adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui tentang adanya atau terjadinya sesuatu pada dirinya, yang dengan itu ia bangkit dan mampu mengambil suatu keputusan, pilihan, atau upaya yang tepat dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kebajikan. Sadar diri bermanfaat bagi seseorang, terutama ketika ia ingin mengetahui posisinya dalam berinteraksi dengan orang lain atau masyarakat. Berdasarkan posisi inilah ia dapat mengambil suatu keputusan, pilihan, atau upaya yang tepat dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kebajikan.
Agar mampu sadar diri seseorang perlu memiliki informasi dan pemahaman yang memadai tentang dirinya dan kebajikan yang diperjuangkannya. Informasi ini diperlukan agar ia mengetahui jarak antara dirinya dengan kebajikan. Bila antara dirinya dengan kebajikan terdapat jarak yang terlalu jauh, maka ia harus berupaya mendekatkan kualitas dirinya dengan kebajikan. Dengan kata lain, kualitas dirinya harus sesuai dengan kebajikan.
Oleh karena itu, seseorang perlu terus menerus memiliki ketertarikan pada kebajikan, dengan cara terus menerus memperbarui informasi dan pemahaman yang memadai tentang kebajikan. Seseorang yang sadar diri juga berikhtiar dengan bersikap, bahwa balasan atas suatu penderitaan yang dialami haruslah sesuatu yang membajikkan.
Balasan juga harus mendorong diri sendiri, orang lain, dan masyarakat semakin senang melakukan kebajikan. Demikian pula dengan balasan atas celaan atau hinaan haruslah sesuatu yang mampu mencerahkan, atau mendorong diri sendiri, orang lain, dan masyarakat semakin gemar memahami kebajikan.
Ikhtiar membajikan dan mencerahkan yang dilakukan oleh seseorang yang sadar diri, berbasis pada kesediaannya untuk menyerap informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya dari lingkungan. Ia sungguh-sungguh berupaya memanfaatkan inderanya secara optimal, dengan banyak mendengar, melihat, dan mengamati.
Bagi seseorang yang sadar diri, umur tidak mampu menghalanginya untuk terus menerus belajar. Baginya belajar tidak selalu bersekolah, melainkan lebih dimaknai sebagai upaya pembaruan informasi, pengetahuan, dan keterampilan secara terus menerus. Oleh karena itu belajar dapat dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah, atau belajar dapat dilakukan oleh siapapun baik ia bersekolah maupun tidak bersekolah.
Setelah seseorang berhasil: (1) membangun percaya diri; (2) “beralamat sendiri”; (3) mampu mengatur diri; (4) mengembangkan diri;(5) mengangkat diri; dan (6) mampu memperhatikan; maka ia berpeluang mampu mengupayakan. Sebagaimana diketahui, mengupayakan adalah tindakan seseorang berdasarkan segenap kemampuan, keahlian, dan kompetensinya dalam melakukan suatu kebajikan yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat.
Mengupayakan berkaitan dengan janji (promise) dan kepercayaan (confidence). Dalam konteks janji, maka mengupayakan juga meliputi tindakan seseorang dalam menyampaikan kepada orang lain bahwa sesuatu berpeluang terjadi, karena ia telah bersungguh-sungguh mengupayakannya. Sementara itu, dalam konteks kepercayaan, maka mengupayakan juga meliputi tindakan seseorang dalam menyampaikan kepada orang lain bahwa sesuatu berpeluang terjadi, karena ia memiliki kemampuan untuk mengupayakannya.
Ketika seseorang mampu mengupayakan, maka ada beberapa ciri yang ia perlihatkan, yaitu: Pertama, ia memiliki dorongan psikologis dan sosial yang mengarahkannya ke suatu kebajikan yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat. Hal ini akan membuat orang tersebut terarah dalam pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya. Ia akan menetapkan cara atau teknik dalam membangkitkan semangat yang meredup dalam dirinya, sehingga tercipta kemauan untuk melakukan suatu kebajikan.
Kedua, ia mengambil semangat kebangkitan diri dari segenap sumber yang terpercaya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Ia mengembangkan mindset (pola pikir) yang dapat merubah suatu kenegatifan menjadi sisi yang positif, sehingga ia berhasil menanamkan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukan kebajikan. Oleh karena itu, ia menuntut diri sendiri agar bersedia berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku terbaik dalam memanfaatkan kemampuannya menghasilkan kebajikan.
Ketiga, ia bersedia memulai hidup baru dengan cara berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku secara baru. Ia wujudkan kecintaannya kepada Tuhannya dengan mewujudkan kebajikan bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat. Rasa cinta kepada Tuhannya akan gagal dibuktikan, bila ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara-cara mewujudkan kebajikan.
Keempat, ia menyadari adanya faktor kunci pada dirinya, yang berupa pengenalan diri yang kuat dan akurat. Ia faham tentang perlunya: (1) karakter pribadi yang termotivasi secara baik sehingga mampu menghadapi tantangan dan dinamika hidup;(2) bakat, potensi dan kemampuan yang selalu dimanfaatkan olehnya dalam menyusuri setiap lorong-lorong kehidupannya yang penuh suka dan duka; serta (3) pengalaman hidup yang menjadi referensi nyata baginya dalam merancang, menerapkan, dan mengevaluasi capaian kebajikan.
Setelah seseorang berhasil membangun percaya diri, “beralamat sendiri”, mengatur diri, mengembangkan diri, dan mengangkat diri, maka ia berpeluang mampu memperhatikan. Sebagaimana diketahui, memperhatikan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempertimbangkan segenap kemampuannya, yang akan digunakannya sebagai pembanding terhadap kemampuan orang lain, untuk menumbuhkan kepekaan dan kesiapan membantu orang lain.
Agar mampu memperhatikan, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seseorang, di mana ia hendaknya merasa sangat tertarik pada kebaikan bagi orang lain atau masyarakat, dan sangat ingin terlibat di dalamnya. Untuk itu ia telah memiliki rekam jejak (track record) yang menunjukkan, bahwa ia dapat dipercaya telah bersungguh-sungguh berupaya memenuhi janji baiknya pada orang lain atau masyarakat.
Seseorang yang berupaya untuk memperhatikan juga dapat menjelaskan kepada orang lain atau masyarakat, bahwa sesuatu yang baik sangat berpeluang terjadi, karena ia telah bersungguh-sungguh mengupayakannya, sehingga orang lain atau masyarakat tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Ia telah membuktikan, bahwa ia dapat dipercaya, karena telah memperlihatkan segenap upaya yang menunjukkan bahwa ia dapat mengendalikan situasi, karena ia memiliki kekuatan dalam membuat keputusan dan mampu mengendalikan situasi yang berpeluang timbul.
Kebaikan yang ingin diperjuangkannya, antara lain bersatunya segenap manusia dengan saling mencintai antara satu dengan lainnya, karena meskipun manusia secara fisik dilahirkan berbeda-beda, namun mereka memiliki status kemanusiaan yang sama. Untuk itu ia telah berupaya memperbaiki situasi dengan memulainya dari diri sendiri, lalu ke orang terdekat dan demikian seterusnya hingga mencapai lingkungan yang lebih luas.
Oleh karena itu, ia sangat memiliki kepedulian dalam memperbaiki situasi agar menjadi lebih baik untuk umat manusia secara keseluruhan. Ia mengerti, bahwa pengalaman-pengalaman dan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh orang lain atau masyarakat harus mendapat pertolongan, dukungan dan cinta dari dirinya. Ukuran sukses bagi dirinya bukanlah pencapaian yang ia raih, melainkan proses kerja yang ia lakukan dengan terus menerus tanpa kenal lelah.
Ia faham, bahwa untuk mencapai kesejahteraan manusia atau masyarakat, maka manusia atau anggota masyarakat harus bekerja bersama-sama. Tidak boleh ada seorang manusia yang dikorbankan untuk kesejahteraan orang lain, karena semua terhubung sebagai bagian dari umat manusia.
Membangun Motivasi Yang Responsif Terhadap Dinamika Sosial
KETERANGAN SINGKAT TENTANG ARISTIONO NUGROHO
Aristiono Nugroho, adalah:
(1) Dosen, peneliti, dan pegiat agraria pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dengan alamat Jl. Tata Bumi No.5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Prov. D.I. Yogyakarta. Sejak 1999 - sekarang.
(2) Pengajar "Sosiologi Dakwah" pada Pondok Pesantren Takwinul Muballighin dengan alamat Condong Catur, Depok, Sleman, Prov. D.I. Yogyakarta. Sejak 2004 - 2011
(3) Motivator pada SAN Management dengan alamat Jl. Sonopakis Lor No.337 RT.04/DK.IX Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Prov. D.I. Yogyakarta. Sejak Oktober - Nopember 2010.
(4) Pengajar "Wawasan Sosial Umat" pada Lembaga Pelayanan Dakwah, Yayasan Pelita Umat Yogyakarta, dengan alamat Trini 01/16 Trihanggo, Gamping, Sleman. Sejak Januari 2011 - Juli 2011.
(5) Anggota Tim Ahli Pertanahan pada Dinas Pertanahan dan Pemetaan Prov. DKI. Jakarta antara tahun 2003 - 2005.
PARA MOTIVATOR
MARI BERBAGI MOTIVASI
Bagi Anda yang berkesempatan membaca blog ini, pengelola mengundang Anda untuk "Berbagi Motivasi". Caranya dengan menuliskan ide, pemikiran, atau pengalaman Anda yang berkaitan dengan motivasi pada kolom "komentar". Dengan demikian Anda telah berbagi pengetahuan kepada orang lain yang membaca blog ini, atau Anda telah "Berbagi Motivasi". Semoga kebajikan yang Anda lakukan diridhai Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
MOTIVASI UTAMA
Motivasi utama seorang manusia dalam berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku adalah dalam rangka berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai keagamaan.
OBSESI: RUMAH MOTIVASI
Besar keinginan saya untuk menyelenggarakan Rumah Motivasi, yaitu sebuah rumah yang memberi layanan motivasi pada masyarakat. Di rumah ini masyarakat dapat “mencharger” (mengisi) kembali semangatnya, dengan semangat yang baru, yang mendorongnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin.
Rumah Motivasi melayani konsultasi motivasi bagi masyarakat. Selain itu Rumah Motivasi juga menyediakan buku, DVD, dan merchandise yang dapat membantu masyarakat meningkatkan motivasinya. Pada saat-saat tertentu, dan secara berkala, Rumah Motivasi menyelenggarakan Seminar Motivasi.
Semoga saya dapat mewujudkannya, atas perkenan dan ridha Allah SWT, insyaAllah...
Blog "SOCIO - MOTIVATION" dikelola oleh Aristiono Nugroho sejak Rabu 12 Mei 2010, dengan maksud berbagi motivasi dengan pembaca blog, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya.
Sebagai dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, yang beralamat di Jl. Tata Bumi No.5 Yogyakarta, terbersit keinginan untuk berbagi motivasi, atau bila dibutuhkan siap menumbuh-kembangkan motivasi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, Aristiono Nugroho siap bekerjasama dengan stasiun televisi, stasiun radio, Badan Eksekutif Mahasiswa, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas untuk berbagi motivasi.
InsyaAllah, dalam seminggu sekali pada blog ini akan diposting artikel bernuansa sosio-motivation.
Terimakasih, selamat membaca, semoga bermanfaat, dan semoga Allah SWT meridhai....
Roadmap (peta jalan) seorang muslim, insyaAllah menjadikan seorang muslim mampu sukses menuju sukses. Definisi sukses bagi seorang muslim, adalah suatu kondisi di mana seorang manusia mampu menggapai ridha Allah SWT. Dengan demikian ukuran sukses seorang muslim adalah ridha Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).
Untuk menggapai sukses (ridha Allah SWT), seorang muslim harus melalui suatu proses, yang merupakan kegiatan utamanya ketika hidup di alam semesta (dunia). Proses tersebut terdiri dari dua kegiatan, yaitu:
Pertama, beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).
Kedua, rahmatan lil’alamiin atau memberi manfaat optimal bagi alam semesta (lingkungan sekitar). Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).
Untuk menjalankan proses tersebut (beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin), seorang manusia memiliki modal, yaitu segenap potensi yang ada pada dirinya.
Selain itu, dalam menjalankan proses (beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin), seorang manusia dapat menggunakan alat yang dapat ia siapkan dengan sebaik-baiknya, yaitu: harta, pangkat, jabatan, keluarga besar, nama baik, gelar, prestasi, dan semacamnya.
Agar seorang manusia dapat mempersiapkan alat menuju sukses dengan baik, maka ada syarat yang harus ia penuhi, yaitu:
Pertama, hidup dalam koridor nilai-nilai Islam, yaitu aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.
Kedua, berkenan berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku fathonah (cerdas komprehensif), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), dan tabligh (informatif).
Ketiga, bersedia berperan sebagai mujahiddin (pejuang kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiquunal awwalun (pionir, perintis, atau yang pertama kali melakukan suatu kebajikan), dan sirajan muniran (pencerah atau pemberi pengetahuan).
Keempat, menjadi bagian dan siap memberi kontribusi bagi terwujudnya peradaban Islami, yaitu: (1) peradaban yang transenden, atau peradaban yang berbasis pada kekuatan rohani yang kuat untuk beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin; (2) peradaban yang humanis, atau peradaban yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT, yang hanya mempertuhankan Allah SWT dan siap bekerjama dengan manusia lainnya dalam rangka mengekspresikan semangat hanya mempertuhankan Allah SWT.; dan (3) peradaban yang emansipatoris, atau peradaban yang bebas dari kejahiliahan tradisional, kejahiliahan modern, dan kejahiliahan pos modern.
Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai…
KABAR TERBARU: KERUSUHAN AMBON (MINGGU 11 SEPTEMBER 2011)
Hari Minggu, tanggal 11 September 2011, terjadi kerusuhan di Ambon. Akibat kerusuhan tersebut beberapa orang tewas, dan beberapa rumah di Desa Waringin dan Desa Ponegoro terbakar, akibatnya Umat Islam di kedua desa tersebut mengungsi di Masjid Agung Al Fatah, Ambon.
Kerusuhan bernuansa agama ini, hendaknya dapat diatasi oleh tokoh dan Umat Islam Ambon dengan pikiran jernih, agar tidak merusak semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hendaknya para tokoh Umat Islam di Ambon berkoordinasi dengan TNI, POLRI dan Pemerintah Kota Ambon untuk mengembalikan ketertiban dan keamanan di Ambon. Setiap muslim tentu sedih, ketika mengetahui saudaranya (Umat Islam) mengalami ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan. Doa kami untuk Umat Islam di Ambon...