Sabtu, 25 September 2010

MAMPU MENIADAKAN DIRI

Istilah “meniadakan diri” merupakan istilah yang bermakna simbolik, di mana dalam istilah ini yang dihilangkan adalah segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan.


Kemampuan “meniadakan diri” diperlukan, agar tujuan berbuat kebajikan dapat semakin mudah diwujudkan. Kebajikan menjadi hal penting, karena kebajikan diwujudkan dalam segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memiliki nilai positif di hadapan Tuhan, dan juga memiliki nilai positif di hadapan manusia.


Dengan demikian ”meniadakan diri” adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu menghilangkan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan. Seseorang yang sedang berupaya “meniadakan diri” akan memperlihatkan kecenderungan tidak lagi gemar menonjolkan diri. Hal penting bagi seseorang yang mampu “meniadakan diri” adalah kontribusinya terhadap kebajikan. Ia tidak peduli, apakah orang lain mengetahui perannya atau tidak.


Seseorang yang mampu “meniadakan diri” berperan dalam dua hal, yaitu: Pertama, to be real or present, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan menjadi nyata dan hadir dalam kehidupan sosial. Kedua, to live in difficult condition, di mana ia berkontribusi melalui perannya, sehingga kebajikan tetap ada (exist) meskipun dalam keadaan atau tempat yang sulit.


Upaya “meniadakan diri” akan mendorong seseorang untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya mewujudkan kebajikan dalam kehidupan sosial, di mana pada saat yang sama ia berupaya agar orang lain tidak mengetahui kontribusinya atas kebajikan tersebut. Ia berupaya menghapuskan segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri yang akan menghalangi kebajikan, sekaligus menghilangkan jejak kontribusinya atas kebajikan.


Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan segala sesuatu yang buruk dan tidak bermanfaat bagi kebajikan. Dalam diskusi internal, antara dirinya dengan dirinya sendiri, ia bersungguh-sungguh melacak segenap unsur yang dapat mendukung kebajikan. Ia juga bersungguh-sungguh menjelaskan kepada dirinya sendiri, tentang segala sesuatu yang memiliki kesalahan dan ketidak-benaran, yang mengancam kebajikan yang sedang diperjuangkannya.


Seseorang yang berupaya “meniadakan diri”, akan bersungguh-sungguh dalam menghancurkan egoisme, karena akan menghalang-halangi kebajikan yang diperjuangkannya. Ia akan memanfaatkan kehendak (will) yang ada pada dirinya untuk mendukung kebajikan. Baginya kehendak merupakan sesuatu yang penting, karena merupakan sumberdaya pada dirinya yang terlibat dalam pengambilan keputusan.


Pada saat melakukan pengambilan keputusan, ia juga akan melibatkan rasio, yang merupakan kemampuannya untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, serta memperhatikan kesamaan atau perbedaan sesuatu. Ketika ia mensinergikan kehendak dengan rasionya, ia berpeluang melakukan dua kemungkinan:


Pertama, ia memposisikan kehendak di atas rasionya, atau mengutamakan kehendak daripada rasionya. Pada kondisi ini, ia berada pada posisi menghendaki. Hal ini akan mengarahkannya pada voluntarisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya (volunteer berarti sukarela).


Kedua, ia memposisikan rasio di atas kehendaknya, atau mengutamakan rasio daripada kehendaknyanya. Pada kondisi ini ia telah berada pada posisi mengetahui. Hal ini akan mengarahkannya pada intelektualisme, yaitu suatu faham untuk melakukan sesuatu berdasarkan rasionya (intellectual berarti cerdik pandai).


Sesungguhnya peluang posisi menghendaki (voluntarisme) dan mengetahui (intelektualisme) dapat disinergikan oleh orang yang bersangkutan untuk mendukung pengambilan keputusan (proposisi). Namun tetap saja terbuka dua kemungkinan, yaitu:


Pertama, berupa keputusan emosional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengehendaki lebih unggul dari posisi mengetahui, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada kehendak daripada pengetahuan seseorang tentang sesuatu.


Kedua, berupa keputusan rasional, yaitu keputusan yang timbul ketika posisi mengetahui lebih unggul dari posisi menghendaki, atau suatu keputusan lebih didasarkan pada pengetahuan daripada kehendak seseorang terhadap sesuatu.


Keputusan emosional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang kurang cermat sehingga dapat menghalangi terwujudnya kebajikan. Oleh karena itu, seseorang yang mampu ”meniadakan diri” biasanya mampu mereduksi keputusan emosionalnya.


Keputusan emosional harus dihindari, karena cenderung menyimpang dari keadilan, cenderung sesat dan menyesatkan serta mendustakan kebenaran, cenderung tidak berdasarkan pengetahuan yang memadai. Sementara itu, keputusan rasional merupakan keputusan yang didasarkan pada pemikiran yang cermat atau mendalam melalui pemanfaatan akal sehingga berpeluang mendukung terwujudnya kebajikan.


Keputusan rasional harus diupaya-terapkan, karena cenderung menggunakan akal sehingga tidak memperolok-olok kebenaran. Keputusan rasional juga cenderung menghindarkan manusia dari kehinaan, serta memberi peluang bagi manusia dalam menguasai (mampu mengatasi) dinamika sosial. Dengan kata lain, seseorang yang mampu “meniadakan diri” bersungguh-sungguh dalam keputusan rasionalnya.

Sabtu, 18 September 2010

MAMPU MENDIDIK DIRI SENDIRI

Mendidik (educate) biasanya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika konsepsi mendidik diri diperkenalkan, maka hal ini berarti memindahkan obyek yang sebelumnya orang lain ke diri sendiri.


Dengan kata lain, mendidik diri sendiri berarti suatu proses mengajar, dan memberi informasi (information) atau pemahaman tertentu pada diri sendiri, agar siap berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh karena yang bersangkutan berencana untuk berbuat kebajikan di muka bumi, maka pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya dididik agar sesuai, mendukung dan dapat mewujudkan rencana tersebut.


Proses mengajar (teach) diri sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah, karena banyak keinginan diri yang seringkali bertentangan dengan yang diajarkan. Upaya mengajar diri sendiri minimal harus meliputi:


Pertama, give lesson, yaitu upaya memberi pelajaran pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan melalui pengamatan, analisis dan penarikan kesimpulan atas fenomena yang ditemui.


Kedua, show how to, yaitu upaya menunjukkan atau menerangkan pada diri sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan pada diri sendiri fenomena yang baik dan yang buruk yang dialami oleh orang lain sebagai benchmarking (pembanding dan pengingat).


Ketiga, get knowledge, yaitu upaya mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dinamika hidup dan kebajikan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca buku-buku dan browsing informasi (tekstual, audio, dan visual) yang berisi berbagai peluang kebajikan.


Selain kesediaan mengajar diri sendiri, unsur penting dalam mendidik diri sendiri adalah informasi, yang merupakan fakta tentang sesuatu benda, orang, kejadian, dan lain sebagainya. Informasi berkaitan dengan berita (messages), di mana informasi dianalogikan sebagai isi sesuatu (misal: air), sedangkan berita dianalogikan sebagai wadah sesuatu (misal: gelas).


Sebagaimana diketahui berita berisi informasi, dan ide. Dalam konteks berita, hal terkecil yang termasuk informasi antara lain sepotong tulisan atau sepenggal perkataan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Oleh kerena itu, ketika seseorang sedang berupaya mendidik diri sendiri, maka informasi hendaklah sekurang-kurangnya dimaknai sebagai sepotong tulisan atau sepenggal perkataan tentang diri sendiri maupun orang lain, yang disampaikan oleh dirinya sendiri kepada dirinya sendiri.


Beberapa pihak menyebut fenomena ini sebagai, “diskusi internal”, yang wujud konkritnya berupa kontestasi berbagai argumen yang ada dalam ranah pertimbangan, agar dapat dirumuskan sikap yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.

Minggu, 12 September 2010

MEMBANGUN DISIPLIN DIRI

Disiplin diri (self discipline) adalah suatu kondisi ketika perilaku seseorang dikendalikan secara cermat oleh orang itu sendiri, berdasarkan tata nilai yang ditetapkannya sendiri. Dalam prakteknya, disiplin diri berkaitan dengan tiga hal yang berprosesi secara berurutan. Ketiga hal tersebut adalah, sebagai berikut: (1) pengetahuan (knowledge), (2) pengendalian (control), dan (3) pengendalian diri (self control).


Agar mampu mengendalikan diri, maka seseorang harus faham tentang konsepsi pengendalian. Selanjutnya, agar faham konsepsi pengendalian, maka seseorang harus memiliki pengetahuan tentang pengendalian. Akhirnya, agar memiliki pengetahuan tentang pengendalian, maka seseorang harus bersedia belajar (learning) tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, termasuk pengendalian diri.


Agar dapat belajar tentang konsepsi dan pelaksanaan pengendalian, maka dibutuhkan kesediaan seseorang untuk: Pertama, bersungguh-sungguh menggapai keahlian atau keilmuan yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian. Kedua, bersungguh-sungguh mengingat berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian. Ketiga, bersungguh-sungguh memahami berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi dan praktek pengendalian. Keempat, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai hal yang berkaitan dengan pengendalian diri, sebagai bagian dari pelaksanaan kebajikan.


Berbekal pengetahuan, seseorang memiliki informasi dan pemahaman tentang sesuatu di dalam pikirannya. Informasi tersebut antara lain berupa tata nilai dan cara-cara berbuat kebajikan, yang menjadi target pencapaian hidupnya. Kebajikan yang ingin dicapainya meliputi segala aktivitas yang mendapat posisi mulia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan bermanfaat optimal bagi alam semesta (termasuk segenap manusia dan lingkungannya).


Informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang juga meliputi tentang pentingnya pengendalian. Berbekal pengendalian, seseorang menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya atau organisasinya, untuk mengarahkan segenap aktivitasnya agar tetap berada pada jalur pencapaian tujuan. Kebajikan inilah yang menjadi salah satu pencapaian yang ingin diperoleh seseorang melalui pengendalian.


Orang tersebut selanjutnya sadar, bahwa pengendalian yang dibutuhkannya bukanlah pengendalian yang bersifat umum, melainkan pengendalian yang lebih terpusat pada dirinya. Ia harus mengendalikan dirinya sendiri, agar segenap aktivitas dirinya terkendali dengan berada pada jalur pencapaian tujuan. Hal ini terwujud, ketika ia berhasil melakukan kebajikan sebagai bagian dari pencapaian utamanya.


Dengan demikian dalam rangka membangun disiplin diri, maka seseorang harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebajikan dan konsepsi pengendalian, serta bersedia melakukan pengendalian diri. Oleh karena itu, seseorang yang sedang membangun diri harus:


Pertama, berupaya agar dirinya mampu menangkap hikmah dari setiap kejadian, baik yang dialaminya maupun yang diketahuinya. Kedua, berupaya agar dirinya mampu mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, dan orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya. Ketiga, berupaya agar dirinya mampu melaksanakan kebajikan. Keempat, bersedia mempraktekkan hal-hal yang telah dicontohkan oleh tokoh-tokoh yang secara nyata mempraktekkan kebajikan dalam hidupnya.

Jumat, 03 September 2010

MENENTUKAN NASIB SENDIRI

Tuhan Yang Maha Esa telah memberi petunjuk, bahwa Ia tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kelompok manusia, bila orang tersebut atau kelompok manusia tersebut tidak sungguh-sungguh berupaya mengubah nasibnya agar lebih baik, yaitu lebih mulia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan bermanfaat bagi umat manusia.


Berdasarkan petunjuk Tuhan Yang Maha Esa itu, maka dapatlah difahami bahwa sesungguhnya peluang nasib manusia tidaklah tunggal, melainkan ada sekian banyak peluang nasib manusia. Oleh karena itu, upaya manusialah yang pada akhirnya memilih salah satu peluang itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan nasibnya sendiri.


Ketika peluang telah dipilih oleh manusia melalui upayanya, maka Tuhan Yang Maha Esa dengan cara ketuhananNya menetapkan takdirnya. Cara ketuhanan tersebut, antara lain berupa memberhasilkan atau menggagalkan upaya manusia.


Bila upaya yang dilakukan manusia akan “menjauhkannya” dari Tuhan Yang Maha Esa, maka besar kemungkinan akan digagalkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya, bila upaya yang dilakukan manusia akan “mendekatkannya” dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka besar kemungkinan akan diberhasilkanNya.


Cara ini tidak berlaku, bagi manusia yang tidak mengakui Tuhan Yang Maha Esa. Bagi manusia seperti ini, maka Tuhan Yang Maha Esa akan mengabaikannya. Bagi manusia yang tidak mengakui Tuhan Yang Maha Esa, telah disiapkan perhitungan tersendiri yang berisi sanksi berat dariNya.


Oleh karena itu, seorang manusia harus berupaya sungguh-sungguh agar ia dapat melakukan sesuatu yang mulia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan dapat semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ia juga harus melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi orang lain atau masyarakat.


Dengan demikian seorang manusia yang ingin mulia dan dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa serta berguna bagi orang lain atau masyarakat, harus: Pertama, melakukan determinasi (determination), yaitu upaya yang terus menerus dalam bertindak meskipun banyak menemui kesulitan dan rintangan. Determinasi dilakukan karena orang tersebut faham, bahwa tindakannya mulia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan diperlukan oleh orang lain atau masyarakat.


Kedua, faham bahwa kesulitan memang tidak selalu mudah untuk diatasi. Namun dengan berbekal keahlian dan keterampilan, maka ada peluang untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dengan demikian selalu terbuka peluang bagi keberhasilan dalam mengatasi kesulitan.


Ketiga, berbekal keberanian, kualitas diri yang baik, dan tata nilai yang diacunya, maka segenap energi dikerahkan agar dirinya berada pada posisi sebagai manusia yang bersungguh-sungguh mengejar kemuliaan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Kesungguhan ini juga diwujudkan melalui tindakan yang diperlukan oleh orang lain atau masyarakat.


Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa dan orang lain atau masyarakat akan mendukungnya dalam melakukan kemuliaan.