Minggu, 26 Desember 2010

SUKSES MENUJU SUKSES

Pada akhir tahun 2010 Bangsa Indonesia mengalami kegembiraan yang “dosisnya” relatif tinggi. Hal ini dikarenakan Tim Nasional Indonesia berhasil masuk final Piala AFF (ASEAN Football Federation) Tahun 2010. Meskipun pada Minggu malam Tim Indonesia dikalahkan oleh Tim Malaysia dengan 3 - 0 di Stadion Bukit Jalil - Malaysia, namun Bangsa Indonesia tetap bergembira dan menyayangi Tim Indonesia. Kegembiraan Bangsa Indonesia ini sesungguhnya menunjukkan sikap Bangsa Indonesia yang merindukan prestasi.


Adalah fitrah, bahwa setiap bangsa, setiap masyarakat, setiap kelompok, dan setiap manusia merindukan prestasi. Prestasi adalah keberhasilan gilang gemilang yang diwujudkan oleh suatu bangsa, suatu masyarakat, suatu kelompok, dan seorang manusia, di mana yang bersangkutan berhasil mewujudkan visi (cita-cita) dan misinya (kegiatan utamanya) di dunia. Dalam konteks ini, maka prestasi identik dengan kesuksesan.


“Sukses” haruslah dimaknai dengan tepat, karena beberapa orang seringkali keliru dalam memaknai “sukses”. Apabila kurang berhati-hati dalam memaknai “sukses”, seseorang dapat terjebak pada makna palsu. Dalam maknanya yang palsu, “sukses” seringkali dimaknai sebagai keberhasilan seseorang dalam mengumpulkan harta, mencapai peringkat tertinggi dalam hal pangkat, jabatan, dan gelar (sosial dan akademik), serta mampu membangun keluarga dalam jumlah anggota yang relatif besar.


Sesungguhnya makna “sukses” tidaklah sesempit itu. Sesungguhnya makna “sukses” sangat esensial, bersifat saripati atau bersifat intisari. “Sukses” sesungguhnya, atau sukses yang sebenar-benarnya sukses, adalah ketika seseorang mampu melakukan dua hal penting dalam hidupnya, yaitu: Pertama, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, memberi manfaat optimal kepada orang lain dan lingkungannya.


Oleh karena “sukses” dapat dimaknai dengan benar (sesungguhnya) dan dapat pula dimaknai secara keliru (salah), maka setiap orang perlu berikhtiar untuk sukses (berhasil) dalam memilih makna “sukses” yang benar, atau sukses yang sesungguh-sungguhnya sukses. Dengan kata lain setiap orang harus sukses dalam memaknai “sukses”. Setelah berhasil memaknai “sukses” dengan sukses (benar), maka ia akan mengetahui adanya “jalan” yang berbeda dalam mencapai sukses semu (salah atau keliru) dengan sukses sesungguhnya (benar atau tepat). Hal ini berarti setiap orang harus sukses memilih “jalan” menuju sukses. Dengan kata lain setiap orang perlu SMS (Sukses Menuju Sukses).


Contoh orang yang berada pada posisi sukses menuju sukses adalah Abdullah Gymnastiar. Ia adalah seorang kiai yang memimpin Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung. Sejak muda Abdullah Gymnastiar telah gemar beribadah kepada Allah SWT dan gemar memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Dalam konteks ”memberi manfaat” sejak muda Abdullah Gymnastiar telah gemar berbisnis. Telah banyak bidang bisnis yang digelutinya, seperti: buku, handicraft, konveksi, mie bakso, dan lain-lain.


Visinya dalam membangun Pondok Pesantren Daarut Tauhid, yaitu menyatukan antara dimensi dzikir, fikir dan ikhtiar. Pertama, dimensi dzikir menekankan keikhlasan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Kedua, dimensi fikir menegaskan pentingnya rasionalitas dalam setiap tindakan keseharian seseorang, sehingga setiap langkah merupakan bagian dari perencanaan yang matang. Ketiga, dimensi ikhtiar menunjukkan pentingnya etos kerja, melalui hidup penuh kesungguhan dan kerja keras tanpa kenal putus asa.


Menurut Abdullah Gymnastiar, “Kalau kita mau sukses, kunci pertama adalah jujur, karena dengan bermodalkan kejujuran, orang akan percaya kepada kita. Kedua, professional. Kita harus cakap sehingga siapapun yang memerlukan kita merasa puas dengan yang kita kerjakan. Ketiga, inovatif, artinya kita harus mampu menciptakan sesuatu yang baru, jangan hanya menjiplak atau meniru yang sudah ada.”

Sabtu, 18 Desember 2010

SEBAIK - BAIK PUAS DIRI

Ada seseorang yang melakukan sesuatu karena ia ingin melakukannya, namun adapula seseorang yang melakukan sesuatu karena ia perlu melakukannya. Dalam kedua kondisi ini, ketika seseorang telah berhasil melakukannya, maka orang tersebut akan merasa puas.


Dengan demikian, puas dapat terjadi karena telah melakukan sesuatu yang ingin dilakukan, dan dapat pula terjadi karena telah melakukan sesuatu yang perlu dilakukan. Kata kunci yang menjadi penentu nilai puas adalah “ingin” dan “perlu”.


Dengan demikian ada dua peluang dalam konteks puas, yaitu: Pertama, puas akan memiliki nilai yang baik, bila seseorang melakukan sesuatu karena ia perlu melakukannya. Suatu “tindakan yang perlu dilakukan”, adalah sesuatu tindakan yang akan menjadikan kualitas hidup seseorang lebih baik.


Kedua, puas akan memiliki nilai yang kurang baik, bila seseorang melakukan sesuatu hanya karena ia ingin melakukannya. Suatu “tindakan yang ingin dilakukan”, adalah sesuatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hasrat seseorang.


Seseorang boleh saja melakukan sesuatu karena ia ingin melakukannya, sepanjang keinginannya itu dalam rangka memenuhi tuntutan keharusan, untuk melakukan sesuatu yang perlu baginya. Dengan kata lain, “keinginan” akan dapat diarahkan ke posisi yang lebih baik, bila ia dicerahkan oleh “keperluan” (kebutuhan) untuk melakukan sesuatu.


Seseorang yang telah melakukan sesuatu karena ia perlu melakukannya, atau karena keinginan untuk melakukan sesuatu didorong oleh perlunya sesuatu dilakukan, berpeluang puas diri. Oleh karena berbasis pada keperluan atau kebutuhan untuk melakukan sesuatu, maka puas diri semacam ini dibolehkan. Inilah sebaik-baik puas diri yang memungkinkan untuk diekspresikan oleh seseorang.


Oleh karena basis puas diri adalah keperluan, maka perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh keperluan yang sungguh-sungguh diperlukan seseorang. Untuk itu seseorang perlu melakukan inventarisasi keperluannya. Hal ini akan membantunya dalam mengenali bentuk atau jenis keperluannya.


Selain itu juga perlu dipertimbangkan alasan atau penyebab suatu tindakan dikategorisasi sebagai keperluan dirinya. Selanjutnya, yang juga penting adalah mempertimbangkan cara mewujudkan atau mengekspresikan tindakan yang diperlukan.


Sebagai contoh, dapat diamati sikap Bill Gates dan Paul Allen. Pada tahun 1975 mereka menyiapkan software sekolah mereka, yang kemudian menjadi awal mula bagi mereka dalam membuat software komputer.


Pengalaman ini kemudian mendorong Bill Gates dan Paul Allen mendirikan Microsoft, yang pada awal berdirinya diabaikan orang. Pada tahun 1990-an, barulah Microsoft berhasil menguasai pasar software komputer. Akibatnya, Bill Gates dan Paul Allen menjadi orang terkenal, dan terdaftar sebagai milyuner.


Demikianlah, sikap harus memutuskan tindakan yang perlu dilakukan seseorang, untuk selanjutnya dieksekusi dengan melakukan tindakan yang perlu tersebut. Setelah itu, seseorang layak puas diri, sambil terus memperbaiki diri, agar lebih puas lagi, demikian seterusnya hingga tak terhingga. Inilah sebaik-baik puas diri.

Jumat, 17 Desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

MENDORONG SADAR DIRI

Seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, hendaklah berkenan menjelajah lingkungan sekitarnya, dan lingkungan yang lebih luas lagi. Saat itulah, ia sedang bergerak membangun pengetahuannya. Sesungguhnya kondisi inilah yang dilakukan di sekolah, kampus, atau pesantren.


Sekolah, kampus, atau pesantren merupakan institusi (organisasi atau lembaga) yang bertugas memprovokasi (mendorong berpikir) pelajar, mahasiswa, atau santri untuk membangun pengetahuan. Guru, dosen, atau ustadz mendorong pelajar, mahasiswa, atau santri untuk mengerti, bahwa kebenaran versi manusia tidaklah tunggal. Contoh, 2 + 5 tidaklah selalu sama dengan 7, karena 2 + 5 dapat saja sama dengan 3 + 4, 1 + 6, dan seterusnya.


Setelah menjelajah lingkungannya, maka seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya akan mengerti, bahwa kekuatan, keterampilan, dan kecerdasan tidaklah selalu mampu mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Kekuatan, keterampilan, dan kecerdasan tidak akan bermakna, bila kesemuanya itu dilakukan untuk melakukan keburukan.


Bila kekuatan, keterampilan, dan kecerdasan dilakukan untuk melakukan keburukan, maka hal ini tidaklah hanya merugikan orang lain, melainkan juga merugikan dirinya sendiri. Dengan kata lain bila kekuatan, keterampilan, dan kecerdasan dilakukan oleh seseorang untuk melakukan keburukan, maka sesungguhnya ia sedang menganiaya dirinya sendiri dan orang lain.


Oleh karena itu, seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, hendaklah mampu melakukan: Pertama, persuade, yaitu membuat dirinya dan orang lain setuju untuk melakukan sesuatu, dengan menyampaikan kepada diri sendiri dan orang lain banyak hal tentang sesuatu. Untuk mencapai hal ini, maka seseorang harus mengerti tentang definisi dari tindakan yang diinginkan. Misal, dirinya dan orang lain sedang diprovokasi untuk gemar membaca, maka ia harus mengerti definisi membaca. Selanjutnya juga perlu dicermati tentang: (1) waktu atau saat membaca yang dianggap perlu dilakukan, (2) tempat atau lokasi membaca yang paling ideal, (3) penyebab pentingnya membaca, dan (4) cara membaca yang paling efektif dan efisien.


Kedua, cause, yaitu dirinya dan orang lain yang mampu membuat sesuatu terjadi, alasan (reason) untuk berperilaku tertentu, serta tujuan yang diyakini dan sedang diperjuangkannya. Untuk mencapai hal ini, maka seseorang harus membantu dirinya dan orang lain agar mampu membuat sesuatu terjadi. Selain itu, ia juga harus menjelaskan alasan pada dirinya dan orang lain tentang pentingnya sesuatu terjadi. Sesudah itu, ia juga harus menunjukkan relasi (hubungan) antara tindakan yang dilakukan oleh dirinya dan orang lain dengan tujuan yang diyakini, dan sedang diperjuangkan oleh dirinya dan orang lain.


Apabila seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, telah melakukan persuade dan cause, maka saat itu ia telah mendorong sadar diri bagi dirinya dan orang lain. Persuade dan cause yang dilakukan dengan sangat ”halus” akan menghasilkan suatu tindakan, kondisi, atau situasi tertentu yang seolah-olah ”otomatis” (niscaya), meskipun sesungguhnya ia dibangun melalui proses developing kesadaran, yang seringkali juga disebut sebagai ”induced”.

Senin, 06 Desember 2010

SELAMAT TAHUN BARU 1432 HIJRIAH

Para pembaca blog yang dimuliakan Tuhan, pada tanggal 7 Desember 2010 sahabat-sahabat kita yang beragama Islam sedang bahagia hatinya. Tanggal 7 Desember 2010 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1432 Hijriah, di mana sahabat-sahabat kita yang beragama Islam sedang mensyukuri datangnya tahun baru 1432 Hijriah.


Momentum ini, sebagaimana momentum tahun baru pada umumnya, memiliki makna hijrah atau berpindah dari situasi dan kondisi yang lama (sebelumnya) ke situasi dan kondisi yang baru (saat ini). Kepindahan ini berarti perubahan, yaitu berubah menjadi sesuatu yang lebih baik.


Momentum 1432 Hijriah hendaklah dapat menjadi pendorong untuk menjadi pribadi yang lebih baik, misalnya dengan: Pertama, hidup lebih efisien, agar hidup makin ringan. Kedua, hidup makin adaptif (dalam kebaikan), agar semakin mudah diterima oleh lingkungan. Ketiga, hidup makin gigih, agar semakin banyak revenue (penghasilan) yang dapat ditabung. Keempat, hidup lebih bahagia, agar kebahagiaan yang dialami mampu mendorong orang lain untuk turut bahagia. Kelima, hidup lebih semangat, agar hidup semakin produktif.


Sudah saatnya momentum 1432 Hijriah mendorong setiap pribadi unggul untuk mempersiapkan diri, dalam menghadapi dinamika sosial. Lakukan perubahan yang mampu mengantisipasi “gelombang” kehidupan, yang kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah. Pelajari segenap peluang yang ada, dan siapkan alternatif kegiatan yang dapat dilakukan dalam menghadapinya.


Sudah saatnya momentum 1432 Hijriah mendorong setiap pribadi unggul untuk mempersiapkan diri, dalam menghadapi dinamika sosial. Lakukan perubahan responsif, yang mampu memberi reaksi yang proporsional, terhadap dinamika sosial. Respon setiap “tanda” kehidupan dengan cermat, dan jangan pernah mengabaikan “tanda-tanda” kehidupan, karena akan mengakibatkan lemahnya respon yang diberikan.


Sudah saatnya momentum 1432 Hijriah mendorong setiap pribadi unggul untuk mempersiapkan diri, dalam menghadapi dinamika sosial. Lakukan perubahan yang mampu mengatasi krisis, dan jangan terjebak dalam krisis. Tidak penting menyesali terjadinya krisis (lokal, regional, nasional, maupun global), melainkan adalah lebih penting untuk berupaya mengatasinya. Boleh jadi ikhtiar yang dilakukan pada awalnya nampak kecil, tetapi dengan kegigihan dan semangat yang tinggi maka lambat laun ikhtiar itu akan semakin besar dampak solusinya.


Demikianlah seharusnya hidup, demikianlah seharusnya mensikapi tahun baru, dan demikianlah seharusnya menjalani hidup dari hari ke hari. Hiduplah lebih baik, dan berubahlah menjadi lebih baik. Bangun pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang lebih cerdas, lebih dapat dipercaya, lebih obyektif, dan lebih informatif. Sekarang adalah saat yang tepat untuk hidup lebih berketuhanan, lebih berbakti kepada Tuhan, lebih mampu berinteraksi sosial, lebih beradab, dan lebih mampu mewujudkannya. Selamat tahun baru 1432 Hijriah...

Sabtu, 04 Desember 2010

MENYALAHKAN DIRI SENDIRI

Salah merupakan fakta yang menjadi pengganti, ketika benar gagal diwujudkan. Salah dapat dimaknai sebagai sesuatu yang buruk, berdosa, menyulitkan, atau membawa persoalan. Salah seringkali juga merupakan suatu penyebab, ketika seseorang gagal mewujudkan keberhasilan.


Dengan kata lain, salah merupakan hal biasa, yang biasa terjadi pada manusia. Salah bukanlah hal aneh yang terjadi pada manusia biasa. Sebaik-baik kesalahan adalah kesalahan yang mampu mendorong perbaikan pada diri seseorang. Sebaliknya, seburuk-buruk kesalahan adalah kesalahan yang menghalangi perbaikan pada diri seseorang.


Oleh karena itu, sebaik-baik manusia adalah manusia yang tidak gemar menyalahkan dirinya sendiri. Bila suatu kesalahan terjadi, ia sibuk untuk melacak pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku dirinya yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Ia tidak sempat lagi menyalahkan dirinya sendiri, karena telah disibukkan oleh pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku baru yang akan membawanya terhindar dari kesalahan berikutnya.


Orang yang bersungguh-sungguh memperbaiki kesalahannya, tidak akan pernah melakukan: Pertama, incriminating, yaitu melakukan sesuatu yang menjadikan seseorang, baik dirinya maupun orang lain, nampak sebagai pihak yang bersalah. Kedua, blaming, yaitu menyatakan atau berpikir bahwa seseorang, baik dirinya maupun orang lain, bertanggung-jawab atas terjadinya sesuatu yang buruk. Ketiga, accusing, yaitu memperlihatkan sesuatu untuk menunjukkan bahwa seseorang, baik dirinya maupun orang lain, bertanggung-jawab atas terjadinya suatu keburukan.


Sebagai contoh, ketika seseorang sedang memperbaiki mobil yang telah mogok berbulan-bulan, maka ia akan sibuk mencari bagian-bagian dari mesin mobil tersebut, yang telah menjadi penyebab mogoknya mobil tersebut selama berbulan-bulan. Baginya tidak penting siapa yang terakhir mengendarai mobil tersebut sebelum mogok. Baginya juga tidak penting apakah ada orang, yang pada malam hari sebelum mogok mengendap-endap untuk merusakkan mesin mobil tersebut.


Baginya tidak penting siapa yang bersalah, baginya lebih penting mengetahui apanya yang salah. Jika seseorang enggan menyalahkan orang lain atas terjadinya suatu keburukan, maka tentulah ia juga tidak akan bersedia menyalahkan dirinya sendiri. Kondisi ini akan lebih banyak memberinya kesempatan, untuk memperbaiki segala sesuatu yang salah.


Bagian-bagian dari sebuah sistem yang salah, baik yang bersifat mekanik maupun sosial, selanjutnya diupayakan untuk diperbaiki dengan sesungguh-sungguhnya. Perbaikan ini akan mengembalikan sistem pada fungsi idealnya, sehingga akan memberi manfaat optimal. Agar perbaikan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka seseorang harus bersungguh-sungguh memperbaiki sistem. Tidak ada waktu baginya untuk menyalahkan orang lain, dan tidak ada waktu pula baginya untuk menyalahkan diri sendiri.