Minggu, 29 Mei 2011

MENCUKUPI KEBUTUHAN DIRI

Setiap manusia mengetahui, bahwa kebutuhan seorang manusia adalah mendapat ridha Allah SWT. Untuk mencukupi kebutuhan ini, maka setiap manusia berupaya untuk beribadah kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, dan memberi manfaat optimal bagi lingkungannya. Dengan kata lain, ibadah manusia kepada Allah SWT dan bermanfaat optimal bagi lingkungannya, merupakan upaya setiap manusia untuk mencukupi kebutuhan dirinya.


Untuk itu setiap manusia hendaknya memperhatikan firman Allah SWT, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta” (QS.6:116).


Perhatikan juga firman Allah SWT, “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mereka kerjakan” (QS.10:36).


Berdasarkan petunjuk Allah SWT dalam QS.6:116 dan QS.10:36 maka setiap manusia yang berkehendak mencukupi kebutuhan dirinya, hendaknya melakukan beberapa hal, sebagai berikut: Pertama, jangan terlalu mudah mengikuti pendapat kebanyakan manusia yang bertentangan dengan Al Qur’an, Al Hadist, dan nasehat mayoritas ulama. Untuk itu lakukan terus menerus upaya peningkatan kualitas diri, terutama yang berkaitan dengan kecerdasan ruhani (transcendental intelligent).


Kedua, mulailah untuk menghormati data, sehingga setiap keputusan yang diambil telah mempertimbangkan data yang ada. Namun demikian janganlah mempertuhankan data, karena data hanya menghasilkan fenomena, yaitu segala sesuatu yang dapat ditangkap indera manusia. Sementara itu, selain fenomena ada pula numena, yaitu segala sesuatu yang berada di luar jangkauan indera manusia. Oleh karena itu, jadikanlah Al Qur’an sebagai acuan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku. Hal ini disebabkan, Al Qur’an selain memuat informasi yang berkategori fenomena, ia juga memuat informasi yang berkategori numena.


Ketiga, ambil sisi positif dari segala sesuatu yang ada di sekitar diri, yaitu: (1) sisi positif pemikiran, sikap, tindakan, perilaku keluarga, yaitu: ayah, ibu, dan saudara kandung; (2) sisi positif pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku orang-orang di sekitar diri, yaitu: orang-orang yang tinggal satu rumah, para tetangga, guru/dosen/pimpinan dan kawan di sekolah/kampus/tempat kerja; dan (3) sisi positif berbagai kebajikan yang pernah, sedang, dan akan dilakukan.


Keempat, kendalikan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku diri sendiri, dengan cara memperhatikan: (1) pikiran yang sering muncul yang berkaitan dengan kekuatan dan kegelisahan, serta pikiran yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kenikmatan hidup diri sendiri; (2) perasaan yang paling sering dialami, baik yang berkaitan dengan kekuatan dan kegelisahan, serta perasaan yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kenikmatan hidup diri sendiri; dan (3) tindakan yang paling sering dilakukan, baik yang berkaitan dengan kekuatan dan kegelisahan, serta tindakan yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kenikmatan hidup diri sendiri.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT berkenan meridhai…

BEDAH BUKU: "DALAM DEKAPAN UKHUWAH" KARYA SALIM A. FILLAH DI MASJID DARUNNAJAH KAMPUS STPN YOGYAKARTA

Hari Kamis tanggal 26 Mei 2011 UKMI (Unit Kegiatan Mahasiswa Islam) Darunnajah bekerjasama dengan Takmir Masjid Darunnajah Kampus STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) Yogyakarta menyelenggarakan acara bedah buku.


Buku yang dibedah pada acara itu adalah buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” karya Salim A. Fillah terbitan tahun 2011 oleh penerbit Pro-U Media. Bertindak sebagai narasumber adalah sang penulis, Salim A. Fillah. Sementara itu, yang bertindak sebagai pembahas adalah Aristiono Nugroho, sedangkan yang bertindak sebagai moderator adalah Amrullah.


Dalam acara tersebut Salim A. Fillah antara lain menjelaskan, bahwa iman kepada Allah SWT diwujudkan melalui hubungan (interaksi sosial) dengan sesama manusia. Oleh karena itu, hubungan harus dilakukan berdasarkan, bersama-sama dengan, dan dalam rangka iman kepada Allah SWT. Dengan demikian setiap manusia wajib mengupayakan terwujudnya iman kepada Allah SWT dan hubungan yang baik dengan sesama manusia.


Hubungan yang baik dengan sesama manusia diwujudkan melalui dakwah, karena salah satu fungsi dakwah adalah menghubungkan, seperti menghubungkan antara orang yang berkelebihan dengan orang yang berkekurangan, atau menghubungkan antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.


Pada bagian lain, ketika diberi kesempatan bicara, dengan gaya humor Aristiono Nugroho menyatakan keberatannya untuk membedah buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Ia menjelaskan, bahwa untuk melakukan pembedahan diperlukan alat yang steril dan person yang steril. Apabila prosedur ini dilanggar, maka akan terjadi infeksi (sesuatu yang tidak diinginkan) pada obyek bedah. Sementara itu, Aristiono Nugroho merasa dirinya tidak steril dan tidak memiliki alat yang steril.


Oleh karena itu, Aristiono Nugroho hanya berkenan membahas buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Menurut Aristiono Nugroho dengan membahas terbuka peluang untuk: Pertama, membuat beberapa catatan penting atas pernyataan dan pendapat penulis. Kedua, memaknai teks baik secara harfiah (arti kata) dan secara simbolik (kontekstualisasi kata). Ketiga, mengkonstruksi relasi antara substansi buku dengan problematika pembaca dalam konteks kekinian.


Acara dipandu oleh moderator, Amrullah, yang piawai dalam menghidupkan suasana diskusi, terutama ketika disediakan hadiah bagi penanya atau pemberi komentar yang isi pertanyaan atau komentarnya dipandang paling urgen, dan berkualitas baik.


Semoga acara-acara semacam ini semakin gencar dilaksanakan di Masjid Darunnajah STPN Yogyakarta.


InsyaAllah...

Muslimah (mahasiswi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) yang menjadi peserta Bedah Buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” karya Salim A. Fillah pada Hari Kamis tanggal 26 Mei 2011 di Masjid Darunnajah, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Pada acara tersebut yang bertindak sebagai narasumber: Salim A. Fillah, sedangkan pembahas: Aristiono Nugroho, dan moderator: Amrullah.

Minggu, 22 Mei 2011

MELAYANI DIRI SENDIRI

Setiap orang perlu memiliki kemampuan melayani diri sendiri. Oleh karena kebutuhan diri setiap orang adalah beribadah kepada Allah SWT dan memberi manfaat optimal bagi lingkungannya, maka setiap orang perlu berlatih agar ia dapat memenuhi kebutuhannya tersebut. Saat seseorang mampu memenuhi kebutuhannya, maka saat itulah ia dikatakan mampu melayani diri sendiri.


Untuk memiliki kemampuan melayani diri sendiri, tidak ada persyaratan latar belakang keluarga yang harus dipenuhi. Dengan kata lain apapun latar belakang keluarganya (di mana ia dibesarkan), setiap orang berpeluang memiliki kemampuan melayani diri sendiri.


Agar mampu melayani diri sendiri, setiap orang harus cerdas, dengan cara terus menerus memelihara semangatnya untuk berlatih cerdas (termasuk cerdas secara ruhani). Sejak ia berkeinginan untuk memiliki kemampuan melayani diri sendiri, maka sejak itulah ia harus memanfaatkan kecerdasannya untuk berubah menjadi yang terbaik. Ia harus berani untuk hanya melakukan sesuatu yang relevan dengan ibadah kepada Allah SWT, dan bermanfaat optimal bagi lingkungannya.


Selanjutnya, orang yang ingin mampu melayani diri sendiri, perlu: Pertama, bersabar dalam serangkaian ikhtiarnya. Boleh jadi ia hidup dalam kondisi yang repot atau merepotkan dirinya, tetapi ia tetap perlu berikhtiar agar dapat beribadah kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, dan dapat bermanfaat optimal bagi lingkungannya.


Kedua, siap dikritik, atau diremehkan oleh orang lain. Baginya kemuliaan tidak ditentukan oleh pendapat manusia. Ia faham, kemuliaannya ditetapkan oleh Allah SWT; sehingga sepanjang berada di “jalan” Allah SWT, maka ia berpeluang dimuliakan oleh Allah SWT.


Ketiga, tidak butuh pujian atau tepuk tangan manusia. Baginya yang terpenting adalah kuantitas dan kualitas ibadahnya kepada Allah SWT dan manfaat optimal dirinya bagi lingkungannya. Ia tidak akan bergeser dari rencana ibadahnya kepada Allah SWT dan manfaat optimal dirinya bagi lingkungan, meskipun tidak ada satupun manusia yang mengapresiasi aktivitasnya.


Keempat, siap berkomunikasi dengan siapapun, untuk memberi penjelasan tentang indahnya nilai-nilai Islam. Dengan penguasaannya atas teknologi informasi, ia mampu mendistribusikan nilai-nilai Islam di dunia maya dan dunia nyata. Berdasarkan informasi tentang nilai-nilai Islam yang didistribusikannya, maka ia menjadi bagian komunitas dakwah, baik diakui maupun tidak diakui oleh orang lain.


Kelima, siap mengimplemetasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ia membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang tepat. Selanjutnya ia pilih strategi yang akan digunakannya dalam menerapkan nilai-nilai Islam bagi dirinya dan orang lain yang berinteraksi dengannya.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai…

Selasa, 17 Mei 2011

MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI

Memikirkan diri sendiri adalah tindakan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, di mana tindakannya itu berkaitan dengan dirinya, atau tentang dirinya. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk mengoptimalkan pencapaian hidupnya, untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi, atau untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkannya.


Orang-orang yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, seringkali tidak sempat memikirkan dirinya. Orang-orang ini hanya sibuk memenuhi keinginan dirinya, tetapi tidak sempat memikirkan sesuatu yang penting, yang menjadi kebutuhan dirinya. Orang ini tidak mengetahui bahwa dirinya membutuhkan ridha Allah SWT.


Oleh karena itu, kinilah saatnya bagi kita semua untuk mulai memikirkan diri sendiri. Kinilah saatnya kita semua memikirkan kebutuhan diri kita masing-masing, yaitu ridha Allah SWT. Untuk menggapai ridha Allah SWT ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yaitu:


Pertama, waspadalah terhadap bujukan liberalisme, yang merupakan jerat halus untuk menghalangi datangnya ridha Allah SWT. Liberalisme mempertuhankan kebebasan, sehingga merusak kebebasan manusia yang paling hakiki, yaitu bebas dari gangguan kaum liberalis dalam mempertuhankan Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.


Kedua, waspadalah terhadap bujukan demokratisme, yang merupakan jerat halus untuk menghalangi datangnya ridha Allah SWT. Demokratisme mempertuhankan rakyat, sehingga merusak semangat kerakyatan, yang berisi pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang relevan dengan upaya melindungi, mencerdaskan, dan mensejahterakan rakyat.


Ketiga, waspadalah terhadap bujukan kapitalisme, yang merupakan jerat halus untuk menghalangi datangnya ridha Allah SWT. Kapitalisme mempertuhankan pemilik modal, sehingga merusak hubungan harmonis antara pekerja, masyarakat, dan pemilik modal. Lagipula kapitalisme telah mengabaikan pemilik modal yang sebenarnya, yaitu Allah SWT yang merupakan pemilik langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada pada keduanya.


Keempat, waspadalah terhadap bujukan pluralisme, yang merupakan jerat halus untuk menghalangi datangnya ridha Allah SWT. Pluralisme mempertuhankan keaneka-ragaman semata, sehingga tidak mampu membedakan keaneka-ragaman sosiologis dengan keaneka-ragaman theologis. Keaneka-ragaman sosiologis diijinkan oleh Allah SWT, sedangkan keaneka-ragaman theologis tidak diijinkan oleh Allah SWT.


Allah SWT berfirman dalam QS.5:3 sebagai berikut, ”... Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah kucukupkan bagimu nikmatKu, dan telah kuridhai Islam menjadi agama bagimu. ...”


Kelima, waspadalah terhadap bujukan sekularisme yang merupakan jerat halus untuk menghalangi datangnya ridha Allah SWT. Sekularisme memisahkan nilai-nilai Islam dari kehidupan sehari-hari, sehingga manusia gagal mendapat manfaat dari nilai-nilai Islam. Kegagalan ini dikarenakan manusia tidak berkenan mempraktekkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

Minggu, 08 Mei 2011

MEMUASKAN DIRI SENDIRI

Setiap orang berkeinginan memuaskan diri. Keinginan ini wajar dan sah sepanjang tidak berlebihan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Keinginan ini menjadi mulia bila yang bersangkutan sangat ingin melakukan kebajikan. Ia baru merasa puas bila telah berhasil beribadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin (memberi manfaat optimal bagi lingkungan).


Ukuran kebajikan yang dianutnya adalah ukuran kebajikan yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an, dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam Al Hadist, dan dinasehatkan oleh para ulama salaf.


Untuk dapat memuaskan diri dalam melakukan kebajikan, maka seseorang perlu melakukan: Pertama, memanfaatkan segenap kemampuan, keahlian, dan kekuasaannya untuk berbuat kebajikan, yang ditujukan bagi sesama manusia dan makhluk Allah SWT lainnya. Baginya tiada hari tanpa kebajikan. Meski sekecil apapun kebajikan yang mampu ia lakukan pada hari itu.


Kedua, berupaya berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku adil bagi dirinya dan orang lain. Ia harus adil pada dirinya, dengan menjadikan ridha Allah SWT sebagai tujuan hidup, melalui hidup yang dipenuhi ibadah kepada Allah SWT, dan bermanfaat optimal bagi lingkungan di sekitarnya. Ia juga harus adil kepada orang lain dengan memenuhi hak orang lain yang berkaitan dengan dirinya, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT.


Ketiga, bersikap proporsional dalam merespon masalah. Caranya dengan berlatih responsif, serta menghindari sikap pasif, dan reaktif terhadap masalah. Ia harus mampu merespon dalam “dosis” yang terukur atas masalah yang dialaminya. Ia tidak boleh pasif dalam menyikapi masalah, meskipun masalah itu dalam “dosis” yang sangat kecil dan terkesan remeh. Namun ia juga tidak boleh reaktif dalam menyikapi masalah, meskipun masalah itu nampak penting dan sangat berpengaruh atas dirinya.


Keempat, mampu bersyukur pada Allah SWT atas semua ketetapanNya yang telah ia terima. Baginya takdir dan ketetapan Allah SWT adalah sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Ia tidak pernah menggerutu atas musibah yang menimpa dirinya, sebaliknya ia berupaya mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap musibah yang dialaminya.


Dengan empat hal yang dilakukannya, sebagaimana yang telah diuraikan, maka seseorang berpeluang mampu memuaskan diri dalam hal kebajikan. Kepuasan ini akan membahagiakannya di dunia, dan insyaAllah akan membahagiakannya pula di akherat, karena telah menjadi hamba Allah SWT yang baik.


Allah SWT berpesan:

“Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik.” Meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertaqwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan” (QS.5:100).


Selamat mencoba, dan semoga Allah SWT meridhai...