Minggu, 30 Januari 2011

MENGHITUNG DIRI SENDIRI

Seorang manusia tidak layak mengabaikan diri sendiri, namun seorang manusia juga tak layak mengagungkan diri sendiri. Seorang manusia hendaknya mampu menghitung diri sendiri. Ia harus mampu memperhitungkan positioning dirinya di hadapan Allah SWT dan di hadapan masyarakat. Ia haruslah berada pada posisi taqwa di hadapan Allah SWT, dan berada pada posisi rahmatan lil’alamiin di hadapan masyarakat.


Setiap manusia memiliki modal dasar, yang berupa: Pertama, potensi diri, yaitu kemampuan yang masih bersifat potensial, atau belum diwujudkan. Kedua, kemampuan diri, yaitu potensi yang telah berhasil diaktualisasikan, atau telah berhasil diwujudkan.


Modal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia ini selanjutnya dilibatkan dalam prosesi (proses menuju sukses), yaitu: Pertama, beribadah kepada Allah SWT. Kedua, memberi manfaat optimal bagi orang lain dan lingkungan, atau rahmatan lil’alamiin.


Tujuan pelibatan modal dasar oleh setiap manusia dalam proses, hanyalah satu, yaitu mencapai sukses, yang berupa keberhasilan menggapai ridha Allah SWT.


Dalam prosesi, selain melibatkan modal dasar, maka setiap manusia juga membutuhkan alat, agar prosesi dapat mencapai tujuan (ridha Allah SWT). Alat menuju sukses (ridha Allah SWT) antara lain berupa: harta, peringkat / jabatan, peringkat / gelar, dan keluarga.


Untuk mendapatkan alat menuju sukses dalam kualitas yang setinggi-tingginya, maka setiap manusia harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syaratnya, yang berupa: Pertama, hidup dalam koridor Islam, yaitu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam tuntunan dan ketentuan yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Kedua, kelola pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku secara Islami, yaitu: fathonah atau cerdas, amanah atau dapat dipercaya, shiddiq atau obyektif / jujur, dan tabligh atau informatif. Ketiga, ambil peran sebagai muslim, yaitu: sebagai mujahiddin atau pejuang kebenaran / agama, uswatun hasanah atau teladan / contoh yang baik, assabiquunal awwalluun atau pioner / pendahulu, sirajan muniran atau pencerah, dan rahmatan lil’alamiin.


Selanjutnya tiap manusia harus mengupayakan mendapatkan alat menuju sukses, yaitu harta, pangkat / jabatan, peringkat / gelar, dan keluarga; dengan cara: Pertama, membangun percaya diri. Kedua, menjadi manusia mandiri atau mampu ”beralamat sendiri”. Ketiga, bersedia mengatur diri. Keempat, mampu mengembangkan diri. Kelima, dan lain – lain.


Untuk itu bagi blogger, pembaca blog, atau anggota masyarakat yang ingin lebih jauh memahami ”Sukses Menuju Sukses”, dapat mengundang Aristiono Nugroho dalam seminar motivasi, dengan menghubungi Pondok Pesantren Takwinul Muballighin – Sleman. Telp. (0274) 547652 atau contact person: 085869759201.

Minggu, 23 Januari 2011

MENGABAIKAN DIRI SENDIRI

“Mengabaikan” adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak cukup memberi kepedulian (care) atau perhatian (attention) pada sesuatu. Dengan demikian “mengabaikan diri sendiri”, berarti suatu kondisi di mana seseorang tidak cukup memberi kepedulian atau perhatian pada diri sendiri.


Seseorang yang mengabaikan diri sendiri seringkali tidak bersedia mengakui potensi yang ada pada dirinya. Ia terprovokasi oleh pendapat orang lain tentang citra negatif dirinya. Ia berkeyakinan, bahwa dirinya tidak akan mampu mengerjakan sesuatu.


Ia tidak percaya dengan firman Allah SWT yang menyatakan, bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam kondisi yang paling sempurna, bila dibandingkan ciptaan Allah SWT lainnya.


Oleh karena itu, ia tidak mengetahui, bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, ia dibekali oleh sekian banyak potensi, yang jika ia latih dan kembangkan akan menjadi sekian banyak kemampuan.


Kemampuan inilah yang dapat digunakan oleh manusia untuk berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu sesuai dengan visi dan misinya di dunia (alam semesta). Seorang manusia yang memiliki kemampuan akan menyadari, bahwa visinya adalah “menggapai ridha Allah SWT”.


Untuk menggapai ridha Allah SWT, maka ia harus menyusun misi, yang berupa berbagai kegiatan utama, seperti beribadah kepada Allah SWT dan memberi manfaat optimal bagi lingkungannya.


Dengan demikian, tidak selayaknya seorang manusia mengabaikan dirinya sendiri. Tidak selayaknya seorang manusia membiarkan dirinya hidup dalam kesia-siaan, dengan tidak beribadah kepada Allah SWT, dan tidak memberi manfaat optimal bagi lingkungannya.


Sesungguhnya orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan adalah orang-orang yang merugi. Hal ini dikarenakan ia gagal menjalankan visi dan misinya sebagai manusia.


Allah SWT menyebut orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan ini sebagai “lebih rendah dari hewan ternak”. Sebagaimana diketahui, hewan ternak bermanfaat bagi lingkungannya, sedangkan orang-orang yang hidup dalam kesia-siaan tidak bermanfaat bagi lingkungannya.


Sudah saatnya setiap manusia mempedulikan dan memperhatikan dirinya, agar ia tidak tergolong sebagai orang yang gemar mengabaikan diri sendiri. Sudah saatnya setiap manusia mempedulikan dan memperhatikan persiapan dirinya ketika ia mati (tidak lagi hidup di dunia). Sudah saatnya ia bersungguh-sungguh menggapai ridha Allah SWT.


Selamat berjuang, dan semoga bermanfaat.

Minggu, 16 Januari 2011

MEMPERSEMBAHKAN BUATAN ATAU KARYANYA

Ketika seseorang mempersembahkan hidupnya bagi Allah SWT dengan berupaya menggapai ridhaNya, ia akan menjadikan harta, pangkat / jabatan, dan peringkat / gelar sebagai alat untuk mendukung ibadah kepada Allah SWT, dan rahmatan lil’alamiin (bermanfaat optimal bagi alam semesta / lingkungan).


Untuk itu ia akan berupaya memperoleh alat (harta, pangkat / jabatan, dan peringkat / gelar) dengan cara-cara yang diperkenankan oleh Allah SWT. Selanjutnya, dengan berbekal percaya diri ia akan berupaya memperolehnya dengan melakukan sesuatu yang khas dirinya. Saat itulah, ia mempersembahkan buatan atau karyanya kepada Allah SWT.


Keinginannya mempersembahkan buatan atau karyanya memiliki alasan, sebagai berikut: Pertama, ia ingin menghasilkan atau menciptakan sesuatu. Dalam konteks menuju sukses (menggapai ridha Allah SWT), ia berupaya menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang akan meningkatkan semangat dirinya dan orang lain untuk beribadah (dalam arti luas) kepada Allah SWT.


Kedua, ia ingin membuat atau menumbuhkan semangat ”rahmatan lil’alamiin” pada dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Untuk itu ia mengikhtiarkan agar kesejahteraan masyarakat dapat terjadi atau ada di masyarakat. Ia bekerjasama dengan masyarakat dalam menciptakan peluang usaha, yang akan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.


Ketiga, ia ingin mengajak masyarakat untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, agar segenap upaya meningkatkan kesejahteraan mendapat dukungan Allah SWT. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ketika Allah SWT memberi peluang sukses (menggapai ridha Allah SWT). Bahkan ia juga ingin agar masyarakat dapat memanfaatkan peluang itu. Dengan demikian kesempatan nyata yang diperoleh tidak akan hilang tanpa kesan.


Keempat, ia ingin mengembangkan kualitas dirinya dan masyarakat agar layak mendapat peluang sukses, serta mendapat kesempatan memperoleh alat terbaik menuju sukses. Ia ingin berubah menjadi lebih maju atau lebih baik, dengan meningkatkan cakupan manfaat kehadirannya di dunia bagi orang lain dan lingkungan.


Kelima, ia memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh harta yang relatif banyak, karena akhirnya akan digunakan di “jalan” Allah SWT, misal untuk membantu pembiayaan pendirian pesantren, rumah sakit, dan membiayai anak putus sekolah.


Keenam, ia memiliki keinginan yang kuat untuk menduduki pangkat / jabatan yang tinggi, karena akhirnya akan digunakan di “jalan” Allah SWT, misal untuk mengambil kebijakan bijaksana (wisdom) yang dapat meringankan beban masyarakat.


Ketujuh, ia memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh peringkat / gelar akademis atau sosial yang tinggi, karena akhirnya akan digunakan di “jalan” Allah SWT, misal untuk merumuskan solusi dan membantu penyelesaian masalah yang ada di masyarakat.


Selamat berikhtiar…

Peserta Seminar Motivasi “Sukses Menuju Sukses” oleh Aristiono Nugroho di Masjid Darunnajah – STPN tanggal 13 Januari 2011

Minggu, 09 Januari 2011

KEPENTINGAN DIRI SENDIRI

Pada saat ini banyak orang yang memberi makna negatif terhadap “kepentingan diri sendiri”, terutama ketika diperhadapkan dengan “kepentingan masyarakat”. Kondisi ini muncul, karena banyak orang terpedaya dengan sukses palsu.


Sukses palsu menjadikan kepentingan diri sendiri bertentangan dengan kepentingan masyarakat, karena sukses hanya diukur dari perolehan harta, pangkat / jabatan, peringkat / gelar, dan besarnya keluarga. Saat itu itulah upaya pencapaian sukses palsu mengabaikan kepentingan masyarakat.


Ironinya, para pencapai sukses palsu ini justru dielu-elukan dan dipuja – puja oleh masyarakat, yang kepentingannya diabaikan oleh para pencapai sukses palsu. Masyarakat silau, terkesima, dan tertipu oleh adanya kelimpahan harta, ketinggian pangkat / jabatan, peringkat / gelar, dan besarnya keluarga para pencapai sukses palsu.


Sesungguhnya kepentingan diri sendiri dapat selaras dengan kepentingan masyarakat, bila para pencapai sukses palsu segera menyadari kesalahannya, dan segera berikhtiar untuk mencapai sukses yang sesungguhnya, yaitu pencapaian ridha (perkenan) dari Tuhan Yang Maha Esa. Para pengikhtiar sukses yang sesungguhnya kemudian menjadikan harta, pangkat / jabatan, peringkat / gelar, dan keluarga besar sebagai instrumen atau alat untuk mencapai sukses yang sesungguhnya.


Bagi para pengikhtiar sukses yang sesungguhnya harta, pangkat / jabatan, peringkat / gelar, dan keluarga besar wajib digunakan dan dimanfaatkan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memberi manfaat optimal bagi lingkungan (rahmatan lil’alamiin). Saat itulah kepentingan pribadi dapat dimaknai sebagai: Pertama, pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang diekspresikan sebagai wujud perhatian pada suatu masalah yang berkaitan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Kedua, pembelaan terhadap kepentingan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, yang dilakukan, dipelajari, atau didalami dengan senang hati.


Tetapi kedua makna kepentingan pribadi tersebut barulah akan lahir, bila para pengikhtiar sukses yang sesungguhnya berkenan meletakkan kepentingan masyarakat sebagai kepentingan pribadi. Tepatnya, para pengikhtiar sukses yang sesungguhnya merasa, bahwa gangguan terhadap kepentingan masyarakat merupakan gangguan bagi kepentingan pribadi.


Untuk itu para pengikhtiar sukses yang sesungguhnya perlu: Pertama, merencanakan aktivitas yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Kedua, membangun interaksi yang dapat membaikan dan membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Ketiga, membangun toleransi dan saling pengertian antara diri sendiri dengan orang lain. Keempat, membesarkan harapan dan semangat diri sendiri dan orang lain, dengan keyakinan dan ikhtiar bahwa hidup harus semakin baik dan semakin bermanfaat. Kelima, menggunakan pikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang baru, sebagai bagian dari ikhtiar agar hidup semakin baik. Keenam, menepati waktu dan janji baik yang pernah disampaikan, agar orang lain semakin percaya, sehingga memudahkan membangun kerjasama dengan orang lain.


Demikianlah beberpa hal yang perlu diperhatikan, agar kepentingan diri sendiri selaras dengan kepentingan orang lain.

Minggu, 02 Januari 2011

AKIBAT PERBUATAN SENDIRI

Adakalanya seseorang menyesali perbuatan sendiri, karena perbuatannya telah membuat ia menderita. Penyesalan semacam ini sebetulnya terlambat, karena peristiwa telah terjadi, dan yang bersangkutan telah terlanjur menderita.


Namun demikian, penyesalan semacam ini dapat dimanfaatkan oleh yang bersangkutan sebagai “pengetahuan”, karena ia menjadi tahu tentang akibat suatu perbuatan. Penyesalan semacam ini juga dapat dimanfaatkan oleh orang lain sebagai “pengetahuan” tentang akibat suatu perbuatan, dengan menjadikan orang yang mengalaminya sebagai contoh hidup atas akibat suatu perbuatan.


Oleh karena itu, adalah penting menjadikan bayangan penyesalan di kemudian hari, sebagai pendorong bagi seseorang untuk berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku lebih baik. Hal ini penting, agar ia tidak perlu menyesali perbuatannya di kemudian hari.


Setiap orang perlu mempersiapkan diri agar hidup sukses. Ukuran suksesnya bukanlah pencapaian harta dalam jumlah tertentu, bukan pangkat atau jabatan tertentu, bukan peringkat atau gelar (akademik dan sosial) tertentu, dan bukan pula besarnya keluarga besar yang berhasil dibangun.


Ukuran suksesnya adalah prosesi (pelibatan diri dalam proses) beribadah kepada Tuhan (Allah SWT), dan rahmatan lil’alamiin (memberi manfaat optimal bagi orang lain dan lingkungannya). Untuk itu, maka ia akan mengerahkan harta, pangkat atau jabatan, peringkat atau gelar, dan keluarga sebagai instrumen (alat) pendukung proses beribadah kepada Tuhan dan rahmatan lil’alamiin.


Sebagai ikhtiar (upaya) agar proses berjalan baik, maka ia berusaha sekuat tenaga untuk hadir pada berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Ia berusaha untuk tidak menunda pekerjaan yang jelas-jelas bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.


Ia juga bersungguh-sungguh untuk hanya melakukan hal-hal yang penting (bermanfaat) bagi dirinya dan orang lain. Ia berupaya menghindari pekerjaan sia-sia, baik dalam konteks waktu, energi, maupun biaya (sosial dan finansial).


Ia berupaya membangun kecakapan pikirnya, dengan berlatih terus menerus, agar ia mampu berpikir cepat. Pemikiran yang cepat, akan berakibat pada sikap yang cepat, dan akhirnya bertindak dengan cepat. Tanpa kecepatan pikir, maka seseorang akan kehilangan momentum saat melakukan sesuatu.


Ia berusaha mencari peluang kebajikan di setiap kesempatan. Ia tidak bersedia ditundukkan oleh fakta, sebaliknya ia sangat bersemangat untuk merubah fakta dengan menciptakan fakta baru.


Ia bersedia menerima masukan dari orang lain, terutama dari orang-orang terpercaya, yang selama ini mendorongnya berbuat kebajikan. Pada saat yang sama ia terus menerus melatih kepekaannya, agar mampu menyaring informasi dengan baik. Dengan demikian ia akan terhindar dari fenomena dis-informasi, yang digembar-gemborkan kelompok anti kebajikan.


Selamat berjuang semoga berhasil, dan tidak lagi menyesali perbuatan sendiri.