Minggu, 21 Agustus 2011

LEARNING ON LEADING

“Learning” berarti “belajar”, yang memiliki makna sebagai berikut: Pertama, get knowledge or skill, yaitu suatu cara mendapatkan pengetahuan dan keahlian dengan melakukan kegiatan tertentu. Kedua, remember, yaitu suatu cara mengingat suatu tulisan, rumus, konsep, atau solusi tertentu dengan membaca dan memperhatikan berulang-ulang. Ketiga, understand, yaitu suatu cara memahami sesuatu, yang kemudian mengharuskannya mengubah diri ke arah yang lebih baik.


Sementara itu, “leading” berarti “memimpin”, yang memiliki makna sebagai berikut: Pertama, take someone, yaitu suatu cara menunjukkan kepada seseorang tentang arah yang akan dituju, dengan membawa orang tersebut ke suatu tempat, atau berjalan di depan orang tersebut. Kedua, be winning, yaitu suatu cara memenangkan pertandingan, permainan, atau kompetisi tertentu. Ketiga, be the best, yaitu suatu cara yang dilakukan agar menjadi lebih baik dari siapapun. Keempat, control, yaitu suatu cara agar dapat mengendalikan situasi, kelompok, organisasi, atau kondisi tertentu.


Dengan demikian “learning on leading” berarti “belajar saat memimpin”. Tepatnya get knowledge or skill, remember, and understanding; when take someone, be winning, be the best, and control. Lebih tepatnya, suatu cara mendapatkan pengetahuan atau keahlian, mengingat, dan memahami sesuatu; saat mengarahkan seseorang, memenangkan, menjadi lebih baik, dan mengendalikan suatu situasi atau kondisi tertentu.


Learning on leading perlu dilakukan seseorang, agar ia dapat memberi manfaat optimal bagi dirinya sendiri dan orang lain. Ia memimpin berdasarkan kebenaran Allah SWT, yang tertera dalam Al Qur’an, dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW, dan dinasehatkan oleh para ulama salaf.


Dengan kata lain, ia tidak akan memimpin berdasarkan prasangka, karena ia: (1) selalu mendapatkan pengetahuan yang baru, (2) ingat pada kebajikan yang diperintahkan Allah SWT, dan (3) faham tentang situasi dan kondisi yang dihadapinya.


Oleh karena itu, ia berpeluang sukses dalam: (1) mengarahkan seseorang, (2) memenangkan suatu kontestasi atau kompetisi, (3) menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, dan (4) mampu mengendalikan situasi atau kondisi yang dialaminya.

Allah SWT berfirman, “Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesunguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat” (QS.10:36).


Berbagai keuntungan yang diperoleh oleh seorang manusia yang mempraktekkan learning on leading, akan memudahkannya memainkan peran sebagai: Pertama, mujahiddin, yaitu seorang pejuang atau pembela agama (Islam) atau kebenaran. Kedua, uswatun hasanah, yaitu orang yang mampu menjadi teladan yang baik. Ketiga, assabiquunal awwalluun, yaitu seorang pionir atau orang pertama yang mampu melakukan kebajikan tertentu. Keempat, sirajan muniran, yaitu seseorang yang mampu menjadi pencerah atau pemberi pengetahuan bagi yang membutuhkan.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT berkenan meridhai…

RENUNGAN: KONSISTEN DENGAN PANCASILA

Sila Ke – 4 Pancasila yang saat ini dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Sila Ke-4 Pancasila ini bermakna, bahwa kepentingan rakyat diarahkan atau dikoordinir oleh seorang pemimpin yang dalam menjalankan tugasnya menerapkan kebijaksanaan (wisdom) melalui musyawarah dengan para wakil rakyat. Dengan demikian sistem ini bukanlah sistem demokrasi (ala Barat), melainkan sistem “kerakyatan”.


Apabila kemudian muncul pertanyaan, ”Bagaimana cara memilih pemimpin, termasuk memilih presiden, secara efektif dan efisien sesuai Sila Ke-4 Pancasila, maka jawabannya sebagai berikut:


Pertama, warga masing-masing RT (Rukun Tetangga) memilih Ketua RT. Kedua, Ketua-Ketua RT pada masing-masing RW (Rukun Warga) memilih di antara mereka sebagai Ketua RW. Ketiga, Ketua-Ketua RW pada masing-masing Kelurahan/Desa memilih di antara mereka sebagai Kepala Kelurahan atau Kepala Desa. Keempat, para Kepala Kelurahan dan Kepala Desa pada masing-masing Kecamatan memilih di antara mereka sebagai Camat. Kelima, para Camat pada masing-masing Kabupaten atau Kota memilih di antara mereka sebagai Bupati atau Walikota. Keenam, para Bupati dan Walikota pada masing-masing Provinsi memilih di antara mereka sebagai Gubernur. Ketujuh, para Gubernur memilih di antara mereka sebagai seorang Presiden.


Dengan cara demikian, maka dana yang ada dapat dihemat, untuk kemudian dialihkan pada berbagai kegiatan yang mensejahterakan rakyat. Sebagai lembaga permusyawaratan/perwakilan maka dibentuklah Dewan Gubernur, yang akan menasehati Presiden dalam hal cara menetapkan kebijakan, yang bijaksana dan bernuansa kerakyatan.


Sementara itu pada level di bawahnya: Pertama, Gubernur akan dinasehati oleh Dewan Bupati/Walikota; Kedua, Bupati/Walikota akan dinasehati oleh Dewan Camat; Ketiga, Camat akan dinasehati oleh Dewan Kepala Kelurahan/Kepala Desa; Keempat, Kepala Kelurahan/Kepala Desa akan dinasehati oleh Dewan Ketua RW; Kelima, Ketua RW akan dinasehati oleh Dewan Ketua RT; Keenam, Ketua RT akan dinasehati oleh warganya.


Usulan konsepsional ini memang membutuhkan perbaikan seperlunya, serta bersifat situasional dan kondisional. Tetapi, prinsip efektivitas, efisiensi, dan kerakyatannya tidak boleh dilanggar; karena inilah ciri utama kerakyatan (Sila Ke-4 Pancasila).


Apabila usulan ini dapat dilaksanakan, maka Bangsa Indonesia dapat menghemat dana atau uangnya, yang selama ini dihambur-hamburkan untuk melaksanakan demokrasi (ala Barat). Uang yang berhasil dihemat itu, selanjutnya dapat digunakan untuk mensejahterakan rakyat.


Dengan demikian Bangsa Indonesia membutuhkan kerakyatan, bukan demokrasi. Sudah saatnya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari Mitologi Demokrasi, agar hidup lebih damai, aman, dan sejahtera.


InsyaAllah...



Senin, 15 Agustus 2011

REMEMBER LINES

“Lines” dapat dimaknai sebagai “kata-kata yang diucapkan oleh aktor dalam penampilannya”, sedangkan ”remember” berarti ”ingatan tentang fakta atau sesuatu yang tersimpan dalam pikiran atau otak, yang dapat diekspresikan ketika dibutuhkan”. Dengan demikian secara singkat, ”lines” berarti ”kata-kata”, sedangkan ”remember” berarti ”ingatan”, maka ”remember lines” berarti ”kata-kata yang diingat”.


Setiap orang memiliki remember lines (kata-kata yang diingat), dan sebaik-baik remember lines adalah firman Allah SWT. Dengan demikian setiap manusia hendaknya mampu menjadikan firman Allah SWT sebagai remember lines. Hal ini tidak mustahil, karena saat ini banyak orang yang hafal Al Qur’an, yang disebut hafidz. Bagi yang belum mampu menghafal firman Allah SWT, hendaknya ia mampu menjadikan nilai-nilai Islam (bersumber dari Al Qur’an) sebagai remember lines.



Misalnya: Pertama, faham bahwa hidup seorang manusia harus berada dalam koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak; Kedua, memiliki pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang fathonah (cerdas komprehensif), amanah (dapat dipercaya), shiddiq (obyektif), tabligh (informatif), istiqamah (konsisten), ikhlas (lapang dada karena Allah SWT), dan ridha (siap menerima hasil aktivitas sebagai wujud berserah diri kepada Allah SWT). Ketiga, bersedia berperan sebagai mujahiddin (pejuang agama/kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiquunal awwalluun (orang yang pertama melakukan kebajikan), sirajan muniran (pencerah atau pemberi cahaya), dan rahmatan lil’alamiin (bermanfaat optimal bagi lingkungan). Keempat, menjadi bagian dari peradaban Islam yang transenden (merohani), humanis (sesuai dengan fitrah manusia), dan emansipatoris (bebas dari kejahiliahan masa lalu dan masa kini).


Caranya: Pertama, sejak bangun di pagi hari, buatlah komitmen bahwa kita harus mengisi hari ini dengan kebajikan, yaitu ibadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin. Hal ini akan menjadi bekal motivasi bagi kita.


Kedua
, sadarilah bahwa komitmen kita untuk mengisi hari ini dengan kebajikan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Hal ini penting agar tidak terbersit kesombongan sedikitpun pada diri kita.


Ketiga
, jadikan pengalaman hari ini sebagai sesuatu yang inspirasional, atau mampu menginspirasi kita agar lebih kreatif lagi dalam berbuat kebajikan. Hal ini penting agar kita terhindar dari rasa bosan berbuat kebajikan, atau kecewa karena rendahnya dampak kebajikan kita.


Keempat, sadarilah bahwa pengalaman hari ini merupakan sesuatu yang penting bagi kita, di mana kebajikan kita kepada orang lain bukanlah untuk kepentingan orang tersebut, melainkan untuk kepentingan kita, yang ditugaskan oleh Allah SWT agar kita bertindak sebagai pelaku kebajikan.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai...

RENUNGAN: KHALIFAH PERTAMA

Abubakar RA adalah Khalifah Pertama yang dipilih oleh Umat Islam, setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW. Abubakar RA ditetapkan sebagai Khalifah Pertama karena ia adalah pemimpin Umat Islam di masa itu, yang memiliki semangat keumatan dan kebijaksanaan, yang dipilih melalui musyawarah, agar dapat mewakili (memperjuangkan) kepentingan Umat Islam dalam mencapai tujuan, yaitu menggapai ridha Allah SWT.


Dengan demikian khalifah, adalah pemimpin yang memiliki semangat kerakyatan (keumatan) dan kebijaksanaan, yang dipilih melalui musyawarah di lembaga permusyawaratan, dan lembaga perwakilan agar dapat mewakili (memperjuangan) kepentingan rakyat (Umat Islam) dalam mencapai tujuan, yaitu menggapai ridha Allah SWT.


Belajar dari penetapan Abubakar RA sebagai Khalifah Pertama, maka sebaik-baik sistem berbangsa dan bernegara adalah sistem yang memungkinkan diterapkannya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dengan kata lain, sebaik-baik sistem berbangsa dan bernegara bukanlah demokrasi. Tepatnya, sebaik-baik sistem berbangsa dan bernegara adalah kerakyatan (Sila Ke-4 Pancasila), yang sesuai dengan kekhalifahan.


Kesesuaian antara Sila Ke-4 Pancasila dengan kekhalifahan bukanlah sesuatu yang kebetulan, karena seluruh kejadian di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Sesungguhnya, seluruh kejadian di alam semesta ini ada dalam skenario Allah SWT. Bukankah Sila Ke-4 Pancasila dirumuskan oleh Muhammad Yamin, seorang muslim, yang berupaya menggapai ridha Allah SWT.


Dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin (seorang muslim) mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan pemikirannya. Pada saat itu Muhammad Yamin berpidato dengan judul “Asas Dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yang mengusulkan dasar negara Indonesia terdiri dari: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.


Setelah berpidato ia menyampaikan usul tertulis, agar dasar negara Indonesia terdiri dari: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Setelah Muhammad Yamin berpidato, berikutnya pada tanggal 31 Mei 1945 giliran Soepomo berpidato, dan kemudian dilanjutkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.


Soepomo menjelaskan, bahwa negara Indonesia didirikan dengan memperhatikan tiga hal, yang berupa pilihan, yaitu: Pertama, persatuan negara, negara serikat, atau persekutuan negara; Kedua, hubungan antara negara dan agama; Ketiga, republik atau monarki.


Pada saat berpidato (1 Juni 1945), Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didirikan dengan dasar: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima dasar negara usulan Soekarno itu, atas usul Muhammad Yamin, yang saat itu duduk di samping Soekarno, diberi nama “Pancasila”.


Selanjutnya untuk merumuskan dasar negara untuk dimasukkan dalam Mukadimah Hukum Dasar, dan setelah mendengar Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno; maka dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang, yang dikenal dengan nama “Panitia Sembilan”.


Ketika rumusanPancasila yang diusulkan oleh Muhammad Yamin secara tertulis, dan Pancasila yang diusulkan (dipidatokan) oleh Soekarno, dibandingkan dengan teks Pancasila yang saat ini dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945; maka diketahui bahwa substansi Pancasila yang mirip dengan Pancasila yang saat ini dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adalah Pancasila yang diusulkan oleh Muhammad Yamin (terutama pada Sila Ke-4).


Dengan demikian sistem yang diamanatkan oleh Pancasila bukanlah sistem demokrasi, melainkan sistem kerakyatan, yang sesuai dengan sistem kekhalifahan.


Terimakasih…



Minggu, 07 Agustus 2011

FORWARD THINKING

Secara bebas “forward thinking” dapat dimaknai sebagai “berpikir ke depan”. “Berpikir” meliputi makna bahwa seseorang memiliki opini tentang sesuatu, atau seseorang sedang mempertimbangkan suatu ide atau suatu persoalan. Sementara itu, “ke depan” meliputi makna tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa depan, atau yang berkaitan dengan adanya kemajuan.


Dengan demikian “berpikir ke depan” atau “forward thinking” dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang, tentang opini atau pertimbangannya terhadap segala sesuatu, yang berkaitan dengan masa depannya yang bernuansa kemajuan. Secara faktual masa depan yang bernuansa kemajuan bagi seorang manusia, adalah ketika ia berhasil menggapai ridha Allah SWT.


Oleh karena itu, setiap manusia berkewajiban untuk mengajak setiap orang, agar berhasil menggapai ridha Allah SWT. Cara mengajaknya melalui dakwah tentang nilai-nilai Islam, kepada orang-orang yang sempat berjumpa dengannya.


Berkaitan dengan dakwah perlu diperhatikan adanya tiga surat dari Allah SWT kepada manusia, yang disampaikan melalui Rasulullah Muhammad SAW, yang berdasarkan urutan penyampaiannya merupakan tiga surat awal, yaitu: Pertama, Surat Al Alaq atau QS.96. Kedua, Surat Al Mudatsir atau QS.74. Ketiga, Surat Al Muzzammil atau QS.73.


Sementara itu, berdasarkan urutannya dalam Al Qur’an sebagaimana arahan Rasulullah Muhammad SAW juga terdapat tiga surat awal, yaitu: Pertama, Surat Al Fatihah atau QS.1. Kedua, Surat Al Baqarah atau QS.2. Ketiga, Surat Ali Imran atau QS.3.


Selain itu, berdasarkan urutannya dalam Al Qur’an sebagaimana arahan Rasulullah Muhammad SAW juga terdapat tiga surat terakhir, yaitu: Pertama, Surat Al Ikhlas atau QS.112. Kedua, Surat Al Falaq atau QS.113. Ketiga, Surat An Nas atau QS.114.


Khusus untuk tiga surat awal berdasarkan urutan penyampaiannya dari Allah SWT kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad SAW, merupakan surat-surat yang memotivasi manusia untuk segera melakukan kebajikan, yaitu menyampaikan kebenaran. Tepatnya memotivasi manusia untuk berkenan berdakwah, atau menyampaikan nilai-nilai Islam kepada segenap manusia yang ia jumpai, baik secara tertulis maupun lisan, dan baik secara langsung maupun tidak langsung.


Allah SWT berfirman, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam (baca dan tulis). Dia mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak diketahuinya” (QS.96:1-5).


Selanjutnya Allah SWT berfirman, ”Hai orang yang berselimut bangunlah! Lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa hindarilah!” (QS.74:1-5).


Allah SWT juga berfirman, ”Hai orang yang berselimut bangunlah di malam hari, kecuali sedikit daripadanya, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit saja, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an dengan tertib. Sesungguhnya Kami (Allah) akan menurunkan kepadamu perkataan (arahan) yang berat” (QS.73:1-5).


Dengan demikian, seorang manusia yang mampu ”forward thinking” maka ia harus berani menyampaikannya, yaitu dengan berdakwah. Caranya: Pertama, ia harus banyak membaca, dengan berbasis pada nilai-nilai Islam. Kedua, kemudian menyampaikannya kepada banyak orang. Ketiga, seraya mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat malam pada 1/3 malam yang akhir. Keempat, agar siap menghadapi tugas-tugas berat selanjutnya.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai...

RENUNGAN: DEMOKRASI BUKANLAH KERAKYATAN

Seorang manusia hendaklah berhati-hati dalam memahami sesuatu, agar ia tidak mudah ditipu oleh berbagai teori yang menyesatkan. Kehati-hatian ini terutama ditujukan bagi berbagai teori yang dirumuskan oleh para pakar Barat yang pro Barat dan gemar mengkooptasi dan mendominasi bangsa-bangsa selain Barat.


Kehati-hatian ini penting, karena dalam Naskah “Protocol of Zion” (1897) yang disusun oleh Zionis Internasional, terutama pada point 8 dan 9, disebutkan, “Bangsa Yahudi harus berupaya agar pemimpin di setiap negara adalah orang yang lemah atau berperangai buruk, agar kemarahan rakyat mudah meledak. Bangsa Yahudi harus menempatkan orang-orang yang pro Yahudi pada posisi penting dan strategis di setiap negara.”


Point 8 dan 9 “Protocol of Zion” dapat dicapai melalui pemilihan yang demokratis, dengan cara menggalang dukungan internasional dan para investor bagi calon yang direstui oleh Bangsa Yahudi atau Zionis (Barat), serta didukung oleh peran media massa pro Bangsa Yahudi atau Zionis (Barat) sebagaimana dimaksud point 12 “Protocol of Zion”, yang menyatakan, “Bangsa Yahudi harus mendominasi dan mengendalikan media massa.”


Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka demokrasi bukanlah kerakyatan, alasannya:


Pertama, Elizabeth Walter (Cambridge University, 2004) menyatakan, “Democracy is a system of government in which people elect their leaders” (demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana rakyat memilih pemimpinnya).


Kedua, demokrasi tidak mengarahkan caranya pemimpin dipilih, sehingga cara apapun dapat dilakukan. Dalam hal ini termasuk dengan melakukan berbagai kecurangan, dan kerjasama antara calon pemimpin suatu bangsa dengan Pemerintah Barat yang ingin mengkooptasi dan mendominasi bangsa tersebut.


Ketiga, demokrasi juga tidak mengarahkan tujuan seorang pemimpin dipilih oleh rakyatnya, sehingga seorang pemimpin dapat saja memperkaya diri serta membantu kooptasi dan dominasi Pemerintah Barat terhadap bangsanya sebagai tujuan kepemimpinannya.


Keempat, bila ada pakar Barat yang menjelaskan tentang cara pemimpin dipilih dan tujuan pemimpin dipilih oleh rakyatnya dalam demokrasi, maka hal ini hanyalah tipuan teoritis agar bangsa-bangsa yang lemah bersedia menerima demokrasi, karena prinsip dasar demokrasi hanyalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Elizabeth Walter.


Kelima, bandingkan dengan konsepsi “kerakyatan” yang meskipun dijelaskan secara singkat tetapi memberi arahan yang jelas, dalam substansi Sila ke-4 Pancasila yang dimuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sila ke-4 Pancasila menyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”


Keenam, dengan demikian “kerakyatan” berarti: (1) sebuah sistem pemerintahan di mana rakyat memilih para wakilnya; (2) yang dalam menjalankan tugasnya, para pemimpin ini diarahkan oleh hikmah atau manfaat dari pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bijaksana; (3) melalui lembaga musyawarah, yang mendiskusikan dan memutuskan berbagai upaya penyelamatan dan pensejahteraan rakyat baik di dunia maupun di akherat (Sila ke-4 berkorelasi dengan Sila ke-1 Pancasila).


Dengan demikian demokrasi bukanlah kerakyatan, karena demokrasi berbeda jauh dengan makna kerakyatan yang terdapat dalam Sila ke-4 Pancasila. Oleh karena itu, berdasarkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Bangsa Indonesia yang bernaung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia hendaklah tidak lagi menerapkan demokrasi, melainkan lebih memilih kerakyatan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.


Selamat berjuang… semoga Allah SWT meridhai.