Minggu, 08 April 2012

SUPPORTING THE ARTS


Istilah “supporting the arts” dapat dimaknai sebagai “mendukung kesenian”, yaitu segenap pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dalam mengembangkan kesenian di suatu wilayah.

Kesenian merupakan ekspresi penting, yang dapat mengungkapkan ikhtiar manusia dalam menata pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku bangsa ke arah yang lebih baik. Substansinya memuat kebajikan dengan mendorong pemenuhan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, maka wujud kesenian harus memperlihatkan bentuk perlindungan bagi manusia Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, dari eksploitasi seksual dan komoditisasi manusia.

Pada kenyataannya, saat ini marak beberapa kesenian berkualitas rendah di Indonesia, yang mengorbankan dan memarginalkan kaum perempuan, dengan menjadikan mereka sebagai obyek tindakan eksploitasi seksual dan komoditisasi manusia. Bahkan kesenian ini menjadikan para wanitanya sebagai penjaja aurat, karena minimnya pakaian mereka.

Sesungguhnya menutup tubuh dengan pakaian yang indah adalah ekspresi perkembangan adat istiadat manusia. Proses perkembangan ini terjadi secara evolusioner, seiring dengan pemahaman tentang pentingnya menutup tubuh dengan pakaian yang indah.

Dalam nilai-nilai Islam dikenal istilah aura-un” yang artinya keji. Menutup aurat maknanya adalah menutup sesuatu dari pandangan orang lain, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan menimbulkan kekejian.

Menurut Hadist yang diriwayatkan oleh Asma binti Abubakar, aurat meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Oleh karena itu, untuk memuliakan tubuh, diwajibkan bagi wanita untuk mengulurkan pakaiannya ke seluruh tubuh (lihat QS.33:59).

Dalam konteks berpakaian, dan dalam rangka mengembangkan kesenian, maka para seniman dan budayawan hendaknya memperhatikan budaya setempat yang masih ada. Untuk itu, ia perlu mengupayakan secara persuasif dan evolusioner pencapaian adat istiadat asasi manusia, yaitu menutup tubuh dengan pakaian yang indah sebagai ekspresi perkembangan adat istiadat manusia.

Apabila hal ini dapat dilakukan, maka manusia akan terhindar terjadinya kekeringan dan kematian kreasi seni dan budaya dari nilai-nilai mulia yang bermartabat. Karena sesungguhnya seni dan budaya selalu berupaya menampilkan keindahan, dan bukannya  mengundang libido atau hasrat seksual manusia. Dengan koridor tidak-vulgar, maka akan muncul kesenian yang memiliki nilai-nilai mulia yang bermartabat.

Suatu tindakan dikatakan kreatif, bila memiliki koridor yang pasti (karena bersumber dari Allah SWT). Tepatnya para seniman dan budayawan sedang didorong untuk berkreasi, dengan cara-cara dan bahasa yang indah.

Allah SWT mencontohkan dalam bahasa yang indah, ketika menggambarkan hubungan suami istri, sebagai berikut: “Istri-istrimu adalah seperti ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu sebagaimana kamu kehendaki, dan berbuat baiklah. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan menghadapNya (Allah). Serta sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman” (QS.2:223).

Ismail F. Alatas (Republika, 13-3-2006, “Seni Tidak Bebas Nilai”) menyatakan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Mitologi Indonesia tidak mengenal figur Prometheus, yakni seorang pahlawan manusia yang memberontak kekuasaan langit. Manusia Indonesia lebih memilih untuk menjadi khalifatullah fil ardl (wakil Allah SWT di bumi) atau imago dei (jembatan antara Tuhan dan bumi).

Oleh karena pandangan hidup distinktif (ada “jarak” antara Allah SWT sebagai Tuhan dengan manusia sebagai hamba Tuhan) itulah, karya seni yang dihasilkan sejak zaman Hamzah Fanshuri hingga Amir Hamzah, menjadi artikulasi dari sistem nilai tersebut, yang telah tertanam dalam tradisi manusia Indonesia.

Selama perkembangan sejarahnya, para seniman besar Indonesia telah bersikap sebagai juru bicara sistem nilai distinktif, sehingga dapat memberikan pemaknaan-pemaknaan proporsional tentang kebenaran. Mereka menjelaskan bahwa kebenaran Allah SWT bersifat mutlak, sedangkan kebenaran manusia bersifat relatif. Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia Indonesia menjadi diri sendiri, dan tidak hanyut dalam arus deras hedonisme.

Ahmad Khoirul Fata (Republika, 21-1-2006, “Playboy, Antara Seni Dan Etika”) menambahkan, bahwa kreativitas lahir dari batasan-batasan yang ada. Seorang pemain sepak bola akan dianggap hebat bila mampu membuat gol ke gawang lawan dengan mengikuti aturan. Sebaliknya, sebanyak apapun gol yang dibuatnya, ia tidak akan dianggap hebat bila bola dimasukkan ke gawang lawan dengan cara tidak mengikuti aturan permainan.

Contoh lain: larangan membuat gambar makhluk hidup dalam ketentuan Islam, tidaklah mematikan kreativitas seniman Islam. Lihatlah karya-karya seni, seperti: Taj Mahal di India yang merupakan warisan Kerajaan (Islam) Moghul, adanya seni kaligrafi, adanya tata kota Isfahan di Iran, dan berbagai arsitektur masjid yang indah.

Oleh karena itu, kesenian harus disikapi dalam perspektif nilai, karena tiap manusia hadir di dunia membawa misi, yaitu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal (nilai-nilai ke-Islam-an) yang diperintahkan Allah SWT kepada tiap manusia.

Dengan demikian tiap manusia harus berupaya mengubah sesuatu yang tidak bernilai menjadi bernilai. Tiap manusia tidaklah manusiawi ketika ia mensikapi sesuatu sebagai sesuatu yang bebas nilai. Tugas tiap manusia adalah menjadikan segala sesuatu yang bersinggungan dengannya memiliki nilai yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, yaitu: (1) beribadah kepada Allah SWT, dan (2) rahmatan lil’alamiin.

Oleh karena itu, mari supporting the arts, agar manusia semakin dekat dengan Allah SWT dan dapat berkontribusi optimal bagi kehidupan manusia pada umumnya. Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan Bangsa Indonesia dan Bangsa Palestina.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar