Sabtu, 30 Juni 2012
AS MUCH AS WE CAN DO
Istilah “as
much as we can do” dapat dimaknai sebagai “sebanyak yang mampu kita
lakukan”. Istilah ini layak ditempatkan dalam konteks berbuat kebajikan, misal
untuk pertanyaan, “Seberapa banyak kebajikan yang Anda lakukan?” Maka jawablah,
“As much as we can do.”
Sementara itu, Allah SWT telah berfirman,
“Dia (Allah) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barangsiapa
yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan
tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang mempunyai
akal” (QS.2:269).
Firman Allah SWT ini mengingatkan, bahwa
setiap manusia hendaknya bersedia memanfaatkan akalnya, agar ia mampu
berhikmah, sehingga mendapat anugerah kebaikan yang banyak dari Allah SWT di
dunia dan di akherat. Salah satu bukti pemanfaatan akal oleh manusia, adalah
ketika manusia tersebut hanya mempertuhankan Allah SWT.
Ketika seorang manusia hanya mempertuhankan
Allah SWT, maka ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu, agar ia dapat mencapai visi, misi, dan tujuan hidupnya, sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Seorang manusia yang hanya mempertuhankan
Allah SWT, akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan khusyu,
agar dapat: (1) menggapai ridha Allah SWT, (2) melaksanakan ibadah kepada Allah
SWT dan rahmatan lil’alamiin, serta
(3) berhasil selamat di dunia dan di akherat.
Kemudian, bila ada pertanyaan, “Seberapa
banyak kebajikan yang Anda lakukan?” Maka manusia tersebut akan menjawab, “As much as we can do.” Jawaban ini
tepat, karena ia telah mengerahkan segenap potensi, kemampuan, dan
keterampilannya untuk berbuat kebajikan.
“As
much as we can do,” sesuai dengan potensi,
kemampuan, dan keterampilan masing-masing. Bila ia seorang pemimpin, maka ia
harus menjalankan kepemimpinannya, agar Allah SWT berkenan meridhai ikhtiarnya.
Demikian pula, bila ia seorang bawahan, maka ia harus menjalankan peran, tugas,
dan fungsi kehadirannya di dunia, agar Allah SWT berkenan meridhai ikhtiarnya. Hal
yang sama berlaku untuk semua profesi, contoh: bila ia seorang dosen, maka ia
harus berbuat kebajikan sebanyak yang mampu ia lakukan dalam profesinya, atau
ia melakukan “as much as we can do”
versi dosen.
Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa
kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat
Islam di seluruh dunia.
Semoga Allah SWT
berkenan meridhai...
...
Label:
akal,
can,
do,
doa.,
ikhtiar,
kebajikan,
khusyu,
memanfaatkan,
mempertuhankan,
much
Jumat, 15 Juni 2012
A CHOSEN LEADER
Istilah “a chosen leader” dapat dimaknai
sebagai “pemimpin yang terpilih”. Hanya saja dalam perspektif hakekat Islamiah,
yang memilih pemimpin bukanlah rakyat atau yang dipimpin, dan bukan pula
pemimpin lainnya yang lebih tinggi.
Seseorang dipilih sebagai pemimpin oleh
Allah SWT tidak melalui prosesi singkat, melainkan melalui sejarah panjang
kehidupan orang tersebut. Ia dipilih berdasarkan kontribusi akumulatifnya
terhadap ketaqwaan umat kepada Allah SWT, dan merebaknya rahmatan lil’alamiin
yang dilakukan oleh umat berdasarkan kemampuan individualnya masing-masing.
Umat manusia tidak dapat mengenali
seseorang yang dipilih oleh Allah SWT sebagai pemimpin melalui seremoni, atau
gelar kepemimpinan yang diberikan oleh manusia. Sang pemimpin yang dipilih oleh
Allah SWT hanya dapat dikenali dari pemikiran, sikap, tindakan dan perilakunya,
yang memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama, sang pemimpin berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu agar dapat melaksanakan: (1)
Visi hidup manusia, yaitu “menggapai ridha Allah SWT.” (2) Misi hidup manusia, yaitu “beribadah kepada Allah SWT dan
rahmatan lil’alamiin.” (3) Tujuan
hidup manusia, yaitu “selamat di dunia dan di akherat, dengan melalui jalan
taqwa kepada Allah SWT.”
Kedua, sang pemimpin berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu agar mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku: (1) Fathonah, yaitu memiliki kecerdasan
yang komprehensif, yang minimal meliputi kecerdasan transendental, sosial, dan
akademik. (2) Amanah, yaitu dapat
dipercaya oleh orang-orang yang dipimpin dan orang-orang yang menjadi
tanggungjawab kepemimpinannya, sebagai sesuatu yang membaikkan, membajikkan,
dan mensejahterakan. (3) Shiddiq,
yaitu obyektif, dengan mendasarkan pada data-data yang shahih atau valid. (4) Tabligh, yaitu informatif, atau
mampu menjelaskan suatu masalah, serta menjelaskan alternatif solusi, dan
menjelaskan keputusan yang diambilnya dengan baik.
Ketiga, sang pemimpin berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu agar mampu berperan sebagai: (1)
Mujahiddin, atau pembela kebenaran. (2)
Uswatun hasanah, atau menjadi teladan bagi kebajikan. (3) Assabiqunal awwallun, atau orang pertama dan utama dalam
melakukan kebajikan. (4) Sirajan
muniran, atau pencerah bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Keempat, sang pemimpin berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu agar mampu membangun tradisi dan peradaban, yang: (1) Transenden, yang artinya mempertuhankan Tuhan yang Maha Esa dan
Maha Kuasa, yaitu Allah SWT. (2)
Humanis, yang artinya memposisikan manusia pada posisinya sebagai menusia, yang
memiliki hak asasi manusia sebagai anugerah dari Allah SWT, sehingga tidak akan
mendustai dan mendurhakai Allah SWT yang memiliki hak atas semesta alam. (3) Emansipatori, yang artinya bebas
dari kejahiliahan (kebodohan) tradisional, kejahiliahan modern, dan
kejahiliahan pos-modern.
Kelima, sang pemimpin berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa dengan
khusyu agar mampu terus menerus berkomitmen, sebagai: (1) Mukmin, yaitu orang yang beriman. (2) Muslim, yaitu orang yang bersyariat Islam. (3) Muttaqin, yaitu orang yang bertaqwa. (4) Mukhlis, yaitu orang yang ikhlas dalam ketaqwaan. (5) Mukhsin, yaitu orang yang mengerti
bahwa dirinya dalam pengamatan Allah SWT.
Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa
kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat
Islam di seluruh dunia.
Semoga Allah SWT
berkenan meridhai...
...
Minggu, 10 Juni 2012
MULTIPLE INTELLIGENCE QUOTIENT
Istilah “multiple
intelligence quotient” dapat dimaknai sebagai “kecerdasan jamak”, yaitu
seperangkat kecerdasan yang ada pada diri manusia. Dengan kata lain, kecerdasan
yang ada pada manusia tidaklah tunggal, melainkan jamak. Tetapi kejamakan
kecerdasan itu hendaknya menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku
yang tunggal setelah seseorang bersentuhan dengan fenomena tertentu.
Berdasarkan pemahaman tentang multiple intelligence quotient, maka
seorang manusia hendaknya minimal memiliki 3 (tiga) kecerdasan utama, yaitu: Pertama, kecerdasan akademik, yang
merupakan pengembangan kecerdasan intelektual (intelligence quotient). Kecerdasan ini sebagian besar diajarkan
dan dilatihkan di sekolah, meskipun ada sebagian orang yang memperolehnya
secara otodidak. Berdasarkan kecerdasan ini seseorang memiliki kompetensi
tertentu, yang digunakan untuk mendukung pekerjaan profesionalnya.
Kedua, kecerdasan sosial, yang merupakan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient). Kecerdasan ini dibangun ketika seseorang
berinteraksi dengan orang lain, yang menimbulkan empati kepada orang lain.
Berdasarkan kecerdasan ini seseorang memiliki kemampuan berinteraksi sosial,
yang didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi, sehingga dapat digunakan
untuk mendukung aktivitas pekerjaan profesionalnya.
Ketiga, kecerdasan transendental, yang merupakan pengembangan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient).
Sebagaimana diketahui, kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seseorang memaknai
hidup dan kehidupannya dalam perspektif manusia. Sementara itu, kecerdasan
transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan kehidupannya
dalam perspektif Allah SWT. Berdasarkan kecerdasan transendental yang
dimilikinya, maka seseorang akan mampu menjadikan pekerjaan profesionalnya
bernilai ibadah, dengan mengabdikan pekerjaannya kepada Allah SWT.
Allah SWT
berfirman, ”Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta. Dia
tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang
setara denganNya” (QS.112:1-4).
Allah SWT juga
berfirman, ”Dan Aku (Allah) tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).
Dalam konteks
interaksi sosial, Allah SWT juga berfirman, ”Dan Kami (Allah) tiada mengutus
engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS.21:107).
Berdasarkan
QS.21:107 maka sebagai pengikut Rasulullah Muhammad SAW, Umat Islam
berkewajiban menjalankan amanah yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, dan sebagaimana yang Rasulullah Muhammad SAW contohkan, yaitu
berbuat kebajikan seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Selamat
merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa
Indonesia, Bangsa Palestina, Umat Islam di seluruh dunia.
Semoga Allah SWT
berkenan meridhai...
...
Label:
akademik,
emosional,
intelektual,
intelligence,
kecerdasan,
multiple,
quotient,
sosial,
spiritual,
transendental.
Minggu, 03 Juni 2012
PERSONAL STRENGTH
Istilah “personal strength” dapat dimaknai
sebagai “keunggulan pribadi”, yaitu keunggulan seseorang yang bersumber pada kualitas
diri pribadinya.
Dalam QS.26:83 Allah SWT mengungkapkan doa
Rasulullah Ibrahim AS, yang sekaligus berarti Allah SWT mengajarkan setiap
manusia untuk berdoa, sebagai berikut: “Ya, Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah
(kemampuan memahami sesuatu), dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang shaleh.”
Dalam doa ini, setiap manusia dibimbing
untuk menghargai hikmah, yaitu kemampuan memahami sesuatu, agar tergolong orang
yang shaleh. Melalui doa ini manusia juga dimotivasi untuk membangun hikmah
pada dirinya, agar tergolong orang yang shaleh.
Sebagaimana diketahui, orang yang memiliki
hikmah ketuhanan akan mengerti, bahwa sesuatu disebut Tuhan bila sesuatu itu
Maha Kuasa, dan sesuatu Maha Kuasa bila sesuatu itu Maha Esa. Dengan demikian
Tuhan itu Maha Esa, sebab kalau Tuhan tidak Maha Esa maka ia tidak Maha Kuasa,
dan itu berarti ia bukan Tuhan.
Oleh karena itu, seorang manusia yang
sedang membangun hikmah pada dirinya, harus bersedia menjadi orang cerdas (fathonah). Ia harus melatih
kemampuannya membaca (iqra) segala
sesuatu yang bermanfaat bagi upayanya membangun hikmah.
Sambil terus menerus membangun kecerdasannya,
ia berupaya merengkuh sifat amanah
(dapat dipercaya) dengan bersikap obyektif (shiddiq).
Setelah terus menerus melatih kecerdasan, maka ia mulai dapat membangun hikmah
secara bertahap. Bagian-bagian pengetahuan yang telah ia fahami kemudian ia
bagikan kepada orang lain seara informatif (tabligh).
Dengan demikian lengkaplah upayanya
meneladani Rasulullah Muhammad SAW yang memiliki sifat FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq, dan Tabligh). Hal ini menjadikan orang yang sedang
membangun hikmah sebagai orang yang memiliki personal strength.
Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa
kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat
Islam di seluruh dunia.
Semoga Allah SWT
berkenan meridhai...
...
Langganan:
Postingan (Atom)