Sabtu, 28 Agustus 2010

KESEDIAAN BERKORBAN

Berkorban, adalah suatu kondisi di mana seseorang memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Tidak jarang semangat berkorban pada diri seseorang diawali oleh suatu penolakan, ketika ada orang lain yang menyatakan bahwa sesuatu yang akan diberikan atau dikerjakan merupakan sesuatu yang tidak benar, atau ketika ia tidak mendapat ijin dari pemegang otoritas (kekuasaan) untuk memberikan atau mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang siap berkorban harus mampu mengatasi hal ini.


Untuk melaksanakan tujuan hidup, yaitu melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya, maka seseorang perlu untuk memiliki pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memperlihatkan substansi siap berkorban. Dengan substansi ini, maka orang tersebut dapat memberikan atau mengerjakan sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, untuk dipersembahkan kepada orang lain atau suatu masyarakat, agar dapat bersama-sama mencapai kemuliaan.


Salah satu wujud kesiapan berkorban, adalah kesediaan seseorang untuk mengendalikan emosinya. Hal ini penting, karena pada saat seseorang sedang mengendalikan emosinya banyak energi dalam dirinya yang tercurah untuk keperluan ini. Oleh sebab itu, seseorang yang sedang atau telah berhasil mengendalikan emosi akan nampak mengalami kelelahan.


Salah satu contoh kesediaan berkorban, adalah kesediaan seorang pengelola perusahaan mengorbankan hubungan baik yang telah dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran.


Pengelola perusahaan tersebut mampu mengendalikan emosinya, ketika ia mengetahui orang kepercayaannya telah melakukan tindakan yang membahayakan perusahaannya secara berulang-ulang. Ia tetap tenang, ketika mendapat laporan dari stafnya, bahwa ia telah dikhianati oleh orang kepercayaannya.


Orang kepercayaannya telah memberikan data palsu kepadanya, sehingga ia salah bersikap. Akibatnya ia memandang baik perbuatan yang buruk, dan sebaliknya, memandang buruk perbuatan yang baik.


Ia tetap dapat mengendalikan emosinya, ketika ia merasakan adanya kejanggalan dari deskripsi yang diberikan oleh orang kepercayaannya. Sampai akhirnya ia berhasil menjelaskan kepada orang kepercayaannya, bahwa ia telah mengetahui tipudaya orang kepercayaannya tersebut. Ia bersedia mengabulkan permohonan maaf orang kepercayaannya, namun ia terpaksa harus memecat orang kepercayaannya itu dari perusahaan yang dikelolanya.


Saat itulah, pengelola perusahaan tersebut, telah mengorbankan hubungan baik yang dijalinnya bertahun-tahun dengan orang kepercayaannya, demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Meskipun tetap perlu difahami, bahwa orang kepercayaan pengelola perusahaan itulah yang telah terlebih dahulu mengorbankan hubungan baik tersebut.


Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat sadar dan sukarela. Sebagai konsepsi perilaku diri sendiri, maka pengendalian emosi bersifat individual. Sedangkan sebagai konsepsi yang bersifat sadar, maka pengendalian emosi bersifat rasional. Sementara itu, sebagai konsepsi yang bersifat sukarela, maka pengendalian emosi bersifat internal. Kesemua ini dilakukan dalam rangka interaksi dengan pihak lain.


Pengendalian emosi sebagai wujud dari kesiapan berkorban, pada akhirnya mengajarkan bahwa kesediaan berkorban dilakukan seseorang, karena:


Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa masih ada Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dimohon pertolonganNya, terhadap situasi dan kondisi apapun yang dialami, termasuk situasi dan kondisi yang mengharuskan ia berkorban;


Kedua, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima laporan, informasi, deskripsi, atau berita apapun, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;


Ketiga, ia terbiasa bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya, yang akhirnya mengharuskan ia berkorban, dengan melepaskan kepercayaannya kepada pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya;


Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan, yang pada akhirnya mengharuskan ia berkorban;


Kelima, ia bersedia memohonkan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi pihak yang telah bertaubat dari kesalahannya, meskipun karena itu ia akhirnya harus berkorban;


Keenam, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan memberi kemudahan baginya dalam melakukan kebajikan.

1 komentar: