Minggu, 25 September 2011

CREATING PROFESSIONALS

“Professional” (Bahasa Inggris) atau “profesional” (Bahasa Indonesia) memiliki makna: Pertama, sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan (job). Kedua, sesuatu yang berkaitan dengan cara seseorang mendapatkan uang (earning money). Ketiga, sesuatu yang berkaitan dengan keahlian (skill).


Dengan demikian “creating professionals” atau “menciptakan para professional” berkaitan dengan pekerjaan, cara mendapatkan uang, dan keahlian. Agar berhasil creating professionals, maka seseorang perlu membangun profesionalitasnya.


Profesionalitas dibangun melalui keahlian, kompetensi, dan kemampuan bersinergi dengan orang lain. Saat itulah seorang profesional membentuk rasa percaya diri, seraya membangun kepercayaan orang lain. Selanjutnya, seorang profesional akan sangat menghargai data, hingga ia layak disebut sebagai orang yang obyektif. Berbekal data yang dimiliki, dan rasa percaya diri yang memadai; maka seorang profesional sangat mahir menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan profesinya, sehingga ia layak disebut informatif.


Creating professionals yang didahului dengan membangun profesionalitas diri, tidaklah selalu harus berskala besar, melainkan dapat pula dalam skala yang relatif kecil. Jika seorang profesional tidak mampu menciptakan beberapa profesional, maka satu orang juga sudah cukup. Jenis profesinya juga tidak harus yang ”hebat”, melainkan dapat saja profesi yang sederhana, misal: pekerja bengkel kendaraan bermotor.


Hal terpenting dari creating professionals adalah kemampuan mendorong seseorang agar bersedia meningkatkan keahlian, kompetensi, dan kemampuan bersinergi dengan orang lain. Profesionalitas ini selanjutnya diabdikan bagi terwujudnya rahmatan lil’alamiin, atau bermanfaat optimal bagi lingkungan, dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.


Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).


Allah SWT juga berfirman, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).


Dengan memperhatikan firman Allah SWT dalam QS.51:56 dan QS.21:107 sudah selayaknya seorang manusia memadukan semangat beribadah kepada Allah SWT dengan semangat rahmatan lil’alamiin.


Dengan demikian seorang manusia perlu menjadi orang yang profesional, sehingga ia berpeluang creating professionals.

Selamat berikhtiar, semoga Allah SWT meridhai...

RENUNGAN: MEMAHAMI FEMINISME

Liberalisme, adalah suatu faham yang menyatakan bahwa kebebasan adalah nilai utama dalam masyarakat. Sebagai faham dogmatis andalan Barat, selanjutnya liberalisme dikemas menjadi filsafat, untuk kemudian disusupkan ke berbagai ranah, termasuk ke ranah gerakan wanita, maka lahirlah dogma feminisme.


Sebagaimana diketahui, feminisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa wanita adalah makhluk terbaik dan tertinggi derajatnya, sehingga berhak untuk mendominasi laki-laki. Untuk menebarkan ajarannya, faham ini menggunakan perspektif konflik dalam melihat relasi laki-laki dengan perempuan, atau suami dengan istri.


Akibatnya rumah tangga bagaikan ”ring tinju”, karena baik laki-laki maupun perempuan berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh dominasi. Pekerjaan domestik (ibu rumah tangga) dengan pekerjaan publik (wanita karir) dilihat secara strukturatif, di mana pekerjaan publik dianggap lebih tinggi derajatnya daripada pekerjaan domestik.


Akibatnya wanita berbondong-bondong keluar rumah. Mereka memasuki pabrik-pabrik, kantor-kantor, dan tempat karir lainnya. Anak-anak mereka dititipkan di PAUD (Pengasuhan Anak Usia Dini) sejak pagi hingga menjelang malam.


Padahal PAUD memiliki tugas mulia, yaitu membantu orang tua mengasuh atau mendidik anak sejak dini, agar saat remaja dan dewasa maka anak-anak ini dapat menjadi remaja atau dewasa yang berkualitas. Dengan kata lain, sesungguhnya PAUD tidaklah dimaksudkan untuk mendorong wanita berbondong-bondong ke luar rumah. PAUD dimaksudkan untuk mendukung regenerasi yang berkualitas.


Bukankah Allah SWT telah mengingatkan, bahwa wanita hendaklah menghindari keburukan (lihat QS.33:30) dengan melakukan kebaikan (lihat QS.33:31), caranya dengan tidak menarik perhatian (lihat QS.33:32). Oleh karena itu, wanita hendaklah berada di rumah (lihat QS.33:33), agar ia terhindar dari ekses pekerjaan publik yang berupa komoditisasi wanita, dan agar ia dapat fokus pada pekerjaan domestik yang berupa pengelolaan regenerasi.


Renungkanlah, semoga Allah SWT meridhai...

Sumber: Koran Tempo, 21 September 2011

Minggu, 18 September 2011

EXPLORE, DISCOVER, AND EXCEL

Allah SWT berfirman, “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama Islam) dan tetapkan pendirianmu sebagaimana engkau diperintahkan (oleh Allah), dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka (orang-orang sesat), serta katakanlah, “Aku beriman pada hal-hal yang diturunkan Allah melalui KitabNya (Al Qur’an), dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu. Tidak ada perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan kita, dan hanya kepadaNya tempat kembali” (QS.42:15).


Firman Allah SWT ini mengingatkan manusia untuk: Pertama, hidup dalam iman dan amal Islami. Kedua, mengingatkan atau menyeru orang lain (manusia lainnya) agar hidup dalam iman dan amal Islami.


Untuk menjalankan seruan Allah SWT ini, maka seorang manusia perlu melakukan ”explore, discover, and excel,” yang memiliki makna, sebagai berikut: Pertama, “explore”, artinya berupaya menemukan sesuatu yang dibutuhkan. Kedua, “discover”, artinya menemukan sesuatu yang dibutuhkan. Ketiga, “excel”, artinya menjadi lebih baik karena berhasil menemukan sesuatu yang dibutuhkan.


Dengan demikian, ”explore, discover, and excel” dapat dimaknai secara linier sebagai upaya sekuat tenaga untuk menemukan sesuatu yang dibutuhkan, agar hidup menjadi lebih baik. Dengan berbekal iman dan amal Islami, seorang manusia hendaknya mengingatkan atau menyeru orang lain, agar menerapkan iman dan amal Islami. Upaya ini ia lakukan dengan sekuat tenaga, sehingga orang lain dapat hidup lebih baik.


Ketika seorang manusia berkenan ”explore, discover, and excel” dalam rangka menjalankan firman Allah SWT dalam QS.42:15, maka saat itu ia sesungguhnya sedang menjalankan peran sebagai ”sirajan muniran”, atau pencerah bagi orang lain atau orang yang membutuhkan.


Tepatnya, ia sedang mencerahkan orang lain tentang pentingnya hidup dalam iman dan amal Islami. Hal ini bukan saja penting bagi dirinya, tetapi juga merupakan sesuatu yang penting dan sangat dibutuhkan oleh orang lain. Tujuan tindakan ini agar hidup dirinya dan orang lain menjadi lebih baik atau lebih bernilai, yaitu bernilai dihadapan Allah SWT dan bernilai pula di hadapan sesama manusia.


”Sirajan muniran” yang dijalankannya berbasis pada koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak; sebagai bagian dari kontribusinya dalam membangun peradaban Islam yang: Pertama, transenden, yaitu hanya mempertuhankan Allah SWT. Kedua, humanis, yaitu memposisikan manusia sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah SWT. Ketiga, emansipatori, yaitu bebas dari kejahiliahan tradisional, modern, dan pos modern.


Allah SWT mengingatkan, ”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS.3:139).


Selamat berjuang, semoga Allah SWT meridhai...

RENUNGAN: MEMAHAMI DOGMATISME BARAT

Liberalisme, adalah suatu faham yang menyatakan bahwa kebebasan adalah nilai utama dalam masyarakat. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia yang terikat pada ketentuan Tuhan (Allah SWT) sebagai pencipta manusia, di mana agar manusia dapat hidup berkualitas dunia dan akherat maka manusia harus tunduk pada Allah SWT.


Allah SWT menjelaskan, bahwa kebenaran itu dari Tuhanmu (lihat QS.2:147 dan QS.18:29). Kalau kebenaran itu berdasarkan kebenaran manusia, maka terjadilah kekacauan di alam semesta (lihat QS.23:71).


Sebagai faham dogmatis andalan Barat, selanjutnya liberalisme dikemas menjadi filsafat, untuk kemudian disusupkan ke berbagai ranah, yaitu:


Pertama, disusupkan ke ranah politik, maka lahirlah dogma demokrasi. Sebagaimana diketahui, demokrasi adalah suatu faham yang menyatakan bahwa pemerintahan yang baik bagi masyarakat adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, di mana keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.


Faktanya, untuk berpartisipasi dalam demokrasi, misal mendirikan dan menjalankan partai politik atau mencalonkan diri sebagai pemimpin politik, membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena pihak yang bersedia membiayai partisipasi dalam demokrasi adalah pemilik modal, maka pada akhirnya demokrasi diabdikan bagi kepentingan pemilik modal. Dengan rekayasa komunikasi sosial, maka suara terbanyak rakyat dapat diarahkan untuk kepentingan pemilik modal, dan bukan untuk kepentingan rakyat.


Kedua, disusupkan ke ranah ekonomi, maka lahirlah dogma kapitalisme. Sebagaimana diketahui, kapitalisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa pemilik modal boleh melakukan usaha apapun untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.


Akibatnya terdapat fenomena di mana sedikit orang menguasai banyak sumberdaya, sedangkan banyak orang hanya sedikit menguasai sumberdaya. Contoh statistiknya, 10 % penduduk menguasai 90 % sumberdaya, sedangkan 90 % penduduk hanya menguasai 10 % sumberdaya. Hasil konkretnya berupa kesenjangan dan kemiskinan yang merajalela.


Ketiga, disusupkan ke ranah theologi, maka lahirlah dogma pluralisme. Sebagaimana diketahui, pluralisme adalah suatu faham keaneka-ragaman yang memasuki ranah theologi (ketuhanan), sehingga menganggap semua agama benar.


Akibatnya sulit membedakan antara tuhan palsu dengan Tuhan yang sebenarnya, karena baik yang palsu maupun yang sebenarnya sama-sama diterima sebagai Tuhan. Dengan kata lain terjadi simulacrum dalam agama, yaitu sulitnya membedakan antara yang palsu dengan yang asli. Padahal cara berpikir seperti ini bertentangan dengan agama, sebab sesungguhnya agama hanya mempertuhankan Tuhan yang sebenarnya.


Bukankah Tuhan itu Esa. Bukankah Tuhan itu tempat bergantung semua ciptaanNya. Bukankah Tuhan itu tidak memiliki anak dan tidak layak dianggap anak. Bukankah tidak ada sesuatupun selain Tuhan yang setara dengan Tuhan (lihat QS.112:1-4).


Oleh karena itu, tidaklah sama antara agama yang mempertuhankan Tuhan (Tuhan Sebenarnya) dengan agama yang mempertuhankan tuhan (tuhan palsu). Dengan demikian pluralisme melanggar filosofi kesamaan (dasar sesuatu disebut sama).


Bukankah dalam Perspektif Perbandingan Agama setiap agama sah melakukan truth claim (pengakuan kebenaran). Oleh karena itu, masing-masing agama memiliki truth claim yang berbeda-beda, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip kesamaan.


Sesungguhnya Allah SWT telah memilihkan Agama Islam untuk manusia, maka janganlah mati melainkan dalam keadaan muslim (lihat QS.2:132). Meskipun sesungguhnya pula tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, karena sudah jelas jalan yang benar dengan yang salah (lihat QS.2:256). Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah SWT hanyalah Islam (lihat QS.3:19). Oleh karena itu sangat mengherankan jika ada manusia mencari agama selain Islam (lihat QS.3:83). Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima agamanya itu (lihat QS.3:85).


Keempat, disusupkan ke ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka lahirlah dogma sekularisme. Sebagaimana diketahui, sekularisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa sebuah institusi, badan, lembaga, atau negara harus terpisah dari agama.


Akibatnya, Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT (Tuhan yang sebenarnya, lihat QS.112:1-4) tidak berkesempatan berkontribusi bagi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Padahal kebaikan yang dapat dikontribusikan oleh Islam adalah kebaikan dalam perspektif Allah SWT (Pencipta manusia).


Allah SWT mengingatkan, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).


Seiring ibadahnya kepada Allah SWT, dan sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, maka seorang manusia diperintahkan untuk memberi manfaat optimal bagi lingkungannya atau rahmatan lil’alamiin. Allah SWT berfirman, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).


Seorang manusia yang beriman dan beramal Islami akan mampu hidup dalam koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Dengan berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh.


Hal ini akan menjadikan seorang manusia mampu berperan sebagai mujahiddin (pembela kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiquunal awwalluun, dan sirajan muniran. Akibatnya akan terbangun peradaban yang transenden, humanis, dan emansipatoris.


Saat itulah seorang manusia akan disambut oleh Allah SWT sebagaimana firmanNya,Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).


Bagi masyarakat sekular, ibadah mereka tidak akan mendorong mereka untuk rahmatan lil’alamiin. Akibatnya tidak ada yang berperan sebagai mujahiddin, uswatun hasanah, assabiquunal awwalluun, dan sirajan muniran. Akhirnya tidak pernah terbentuk peradaban yang transenden, humanis, dan emansipatoris.


Renungkanlah, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 11 September 2011

CREATE THE FUTURE

Setiap manusia ingin create the future, atau menciptakan masa depan, yaitu mewujudkan suatu situasi dan kondisi yang baik bagi dirinya. Bagi seorang manusia yang cerdas, masa depan bukanlah sekedar kehidupan di dunia, masa depan juga bukan sekedar kehidupan di akherat.


Bagi manusia yang cerdas, masa depan adalah perjalanan kehidupan duniawi yang berkualitas, menuju kehidupan akherat yang berkualitas. Untuk itu ia wajib mengenal penguasa dunia dan akherat, yaitu Tuhan.


Sebagai manusia yang cerdas, ia tidak sembarangan bertuhan. Ia hanya bersedia mempertuhankan Tuhan yang sebenarnya, ia tidak akan terkecoh pada tuhan-tuhan palsu yang diciptakan manusia. Ia tidak tergiur pada tuhan-tuhan yang dipromosikan Barat dan Timur, meskipun dengan iming-iming kekayaan dan kesejahteraan versi Barat dan Timur.


Baginya Tuhan adalah Dzat yang tidak dapat disetarakan dengan sesuatu apapun di alam semesta ini, termasuk tidak dapat disetarakan dengan manusia, apalagi menganggapnya sebagai manusia, atau mempertuhankan manusia. Mempertuhankan manusia sebagai Tuhan, adalah tradisi kebodohan di masa lalu. Lihatlah tradisi Mesir di masa Fir’aun, di mana manusia (Bangsa Mesir) mempertuhankan manusia (Fir’aun).


”Hari gini masih mempertuhankan manusia? Enggak lah yaa... Karena itu kebodohan yang nyata, atau kebodohan yang terang benderang.”


Bagi seorang manusia yang cerdas, Tuhan adalah Dzat yang Esa. Tuhan adalah Dzat di mana segala sesuatu bergantung padanya. Tuhan adalah Dzat yang tidak dapat disetarakan dengan sesuatu apapun di alam semesta ini.


Dalam Al Qur’an Surat Ke-112, Allah SWT berfirman, ”Katakanlah, ”Dia-lah Allah, Yang Esa. Allah adalah Tuhan di mana segala sesuatu bergantung padaNya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang setara denganNya” (QS.112:1-4).


Oleh karena itu seorang manusia yang ingin create the future berupaya agar Allah SWT meridhainya. Sebagaimana Allah SWT menjelaskan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).


Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS.89:27-30, maka seorang manusia yang cerdas akan melakukan dua hal, yaitu: Pertama, beribadah kepada Allah SWT. Dasarnya firman Allah SWT, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56); Kedua, memberi kontribusi optimal bagi lingkungannya dalam koridor beribadah kepada Allah SWT. Dasarnya firman Allah SWT, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).


Kalau ini yang dijalankan dalam kehidupannya sehari-hari, maka inilah manusia yang cerdas, dan inilah manusia yang ingin create the future.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai…

RENUNGAN: MEMAHAMI LIBERALISME

Liberalisme merupakan dagangan Barat saat ini, yang turut didistribusikan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat pro Barat di Indonesia. Meskipun secara keilmuan semua pihak telah mengetahui, bahwa liberalisme hanyalah dogma ilusionis Barat di masa kini.


Untuk memahami hal tersebut perlu diketahui tiga terminologi berikut ini: Pertama, dogma adalah dekrit yang dikeluarkan institusi otoritatif, sehingga bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sanksi dari institusi tersebut (negara, organisasi, dan perguruan tinggi).


Kedua, ilusionis adalah orang, lembaga, atau negara yang gemar berilusi, berangan-angan, atau berkhayal tentang sesuatu. Ilusionis Barat, artinya orang, tokoh, lembaga, atau negara-negara Barat yang gemar berilusi, berangan-angan, atau berkhayal.


Ketiga, ilusi, angan-angan, atau khayalan orang, tokoh, lembaga, atau negara-negara Barat ini merupakan dongeng yang ditebarkan oleh Bangsa Yahudi (Zionis), untuk mengelabui mereka (Barat) agar bersedia mendukung dan membantu secara membabi-buta Bangsa Yahudi (Zionis) yang ingin menguasai dunia, yang diawali dengan merampok Tanah Palestina dan mendirikan Negara Israel di atas tanah Bangsa Palestina.


Dengan ketekunannya menyesatkan dunia (lihat QS.2:120), maka Barat mengubah liberalisme yang semula hanya suatu faham menjadi filsafat, dan meyusupkannya ke berbagai ranah, yaitu: Pertama, liberalisme disusupkan ke ranah politik, maka lahirlah dogma demokrasi. Kedua, liberalisme disusupkan ke ranah ekonomi, maka lahirlah dogma kapitalisme. Ketiga, liberalisme disusupkan ke ranah theologi, maka lahirlah dogma pluralisme. Keempat, liberalisme disusupkan ke ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka lahirlah dogma sekularisme.


Skenario ini sesungguhnya telah dimuat dalam Protocol of Zion (tahun 1897), berisi uraian sistematis tentang rencana Bangsa Yahudi untuk menguasai dunia, yang terbagi dalam 24 (dua puluh empat) bagian.


Bagian Protocol of Zion yang berkaitan dengan liberalisme dimuat pada point pertama dan kedua, sebagai berikut: Pertama, liberalisme, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan yang dikembangkan oleh Bangsa Yahudi, hanyalah jerat halus untuk menangkap mangsa, yaitu Bangsa Non Yahudi. Kedua, ideologi Bangsa Yahudi, yaitu liberalisme, bagi orang yang tidak menjalankan agama dengan baik akan mudah diterima.


Oleh karena itu, Allah SWT telah menginformasikan, “Dan demikianlah untuk setiap nabi (setiap masa), Kami (Allah) mengetahui adanya musuh yang terdiri dari setan yang berwujud manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah, sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka bersama kebohongan yang mereka ada-adakan. Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akherat tertarik pada bisikan itu dan menyenanginya. Dan agar mereka melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan” (QS.6:112-113).


Namun hal demikian dapat diatasi bila manusia berkenan mengikuti firman Allah SWT, “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS.2:2).


Selamat berjuang menuju taqwa, semoga Allah SWT berkenan meridhai…

Minggu, 04 September 2011

PIONEERING NEW FRONTIERS

“Pioneering” berarti orang yang memulai upaya membangun atau mewujudkan sesuatu; sedangkan “new frontiers” berarti garis batas yang baru; maka “pioneering new frontiers” berarti orang yang memulai upaya membangun atau mewujudkan garis batas yang baru.


Seseorang berhasil membangun atau mewujudkan garis batas yang baru, setelah ia berhasil melalui garis batas yang lama. Bila garis batas sebelumnya berisi seperangkat nilai-nilai yang selama ini telah dipraktekkan, maka garis batas yang baru berisi seperangkat nilai-nilai lama yang telah diperbarui yang siap untuk dipraktekkan.


Bagi seorang muslim, garis batas yang baru berisi seperangkat nilai-nilai kebaikan yang telah dipraktekkan sebelumnya, yang kemudian diperbarui dan ditingkatkan kualitas kebaikannya, agar siap dipraktekkan dalam situasi dan kondisi yang semakin dinamis, yang kesemuanya berada dalam koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.


Allah SWT berfirman, “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (Allah), dan ketahuilah tentang adanya surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya pada waktu lapang dan waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, serta memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS.3:133-134).


Firman Allah SWT ini merupakan acuan bagi seorang muslim, yang ingin melakukan pioneering new frontiers. Ia harus meningkatkan ketaqwaan dari kualitas sebelumnya (batas lama) menuju kualitas baru (batas baru) yang lebih tinggi. Hal ini berarti ia wajib meningkatkan tindakan menafkahkan harta, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain.


Tepatnya: Pertama, seorang muslim yang ingin melakukan pioneering new frontiers wajib meningkatkan tindakan menafkahkan harta di jalan Allah SWT. “Menafkahkan harta” berarti mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki, untuk diberikan kepada orang lain atau suatu organisasi tertentu, agar dapat dimanfaatkan oleh orang atau organisasi tersebut di “jalan” Allah SWT.


Ia perlu berhati-hati menafkahkan harta, jangan sampai harta yang ia nafkahkan dimanfaatkan oleh orang atau organisasi yang menerima harta tersebut, untuk berbuat keburukan. Ia juga perlu berhati-hati, agar orang atau organisasi yang menerima harta tersebut tidak “keracunan”, di mana orang atau organisasi tersebut menjadi sangat bergantung pada pemberian harta dari orang yang menafkahkan harta.


Kedua, seorang muslim yang ingin melakukan pioneering new frontiers wajib meningkatkan tindakan menahan amarah. Upaya ini bukan berarti ia tidak boleh marah, melainkan ia hanya marah dengan “dosis” terukur ketat dan tepat, untuk hal-hal yang penting, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, adab, muamallah, dan akhlak.


Ketiga, seorang muslim yang ingin melakukan pioneering new frontiers wajib meningkatkan tindakan memaafkan kesalahan orang lain, dengan catatan maaf yang diberikan tidak mengakibatkan orang yang diberi maaf menjadi orang yang gemar mengabaikan kebenaran, mengabaikan kebaikan, dan mengabaikan keindahan. Dengan kata lain harus dicegah adanya orang-orang yang gemar berbuat kesalahan, keburukan, dan kemaksiatan; karena mereka merasa bahwa kesalahan, keburukan, dan kemaksiatannya akan dengan mudah dimaafkan.


Dengan demikian seorang muslim yang ingin menjadi pioneering new frontiers wajib meningkatkan ketaqwaannya, dengan meningkatkan tindakannya dalam menafkahkan harta, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain secara proporsional, dalam koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak.


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai…

RENUNGAN: URGENSI KERAKYATAN BAGI BANGSA INDONESIA

Dalam tulisan atau postingan sebelumnya telah dibahas tentang demokrasi. Telah dibahas, bahwa berdasarkan Pancasila, khususnya Sila Ke-4, Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya tidak mempraktekkan demokrasi. Sebaliknya, Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya mempraktekkan kerakyatan, karena demokrasi berbeda dengan kerakyatan.


“Demokrasi” bertumpu pada asas “suara terbanyak”. Apapun usulannya, bila didukung oleh suara terbanyak, maka usulan itu menjadi keputusan, yang kemudian berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Firman Allah SWT, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta” (QS.6:116).


Dalam kerangka demokrasi yang bertumpu pada asas “suara terbanyak”. Suatu kesesatan, kemaksiatan, atau keburukan dapat diusulkan, dan bila didukung oleh suara terbanyak, maka usulan itu menjadi keputusan, yang kemudian berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Sebaliknya “kerakyatan” sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, khususnya Sila Ke-4, bertumpu pada “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Artinya “kerakyatan” bertumpu pada asas “kebijaksanaan”. Apapun usulannya, bila tidak bijaksana, maka usulan itu wajib ditolak. Sehingga usulan yang dapat menjadi keputusan hanyalah usulan yang bijaksana, yang akan berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Oleh karena Sila Ke-4 mengacu pada Sila Ke-1 sebagai dasar filosofinya, maka ukuran bijaksana (Sila Ke-4) tidaklah semata-mata ditentukan oleh bangsa atau para pemimpin bangsa, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sila Ke-1).


Allah SWT berfirman, ”Katakanlah, ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepadaNya (dalam kendaliNya). Dia tidak beranak, dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya” (QS.112:1-4).


Dengan demikian, ukuran bijaksana adalah seperangkat nilai yang bersumber dari Allah SWT, yaitu seperangkat nilai yang tertuang dalam Al Qur’an, dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam Al Hadist, serta dinasehatkan oleh mayoritas ulama.


Nilai-nilai universal ini tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang antara lain: penghapusan penjajahan di seluruh dunia, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Selamat merenung, semoga faham, dan semoga diberkahi Allah SWT...