Minggu, 27 Mei 2012

FAMILY DISCOVERY


Allah SWT berfirman, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-kitab (Al Qur’an) dan al-hikmah (kemampuan memahami sesuatu). Karena sesungguhnya, sebelum itu mereka berada dalam kesesatan yang nyata” (QS.3:164).

Firman Allah SWT dalam QS.3:164 ini mengingatkan orang-orang beriman (muslim) agar memperhatikan Al Qur’an dan Al Hadist, karena keduanya dapat mengarahkan manusia pada kondisi ideal, termasuk ideal bagi unsur pembentuk masyarakat, yaitu keluarga (keluarga ideal).

Dengan kata lain nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadist, merupakan nilai-nilai yang dapat membentuk keluarga ideal, yang berarti dapat melakukan family discovery. 

Secara bebas “family discovery” dapat diterjemahkan sebagai “penemuan keluarga”, yang artinya “suatu kondisi ketika berhasil ditemukan sebuah konsepsi keluarga ideal”. Keluarga ideal adalah keluarga yang mampu mengoptimalkan peran dan fungsi masing-masing unsur, yaitu: (1) ayah/suami, (2) ibu/istri, dan (3) anak.

Pertama, seorang suami berperan sebagai pemimpin yang mengarahkan dan mengorganisir keluarga, agar dapat menjadi keluarga yang bertaqwa kepada Allah SWT, dengan menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang suami juga berperan sebagai ayah bagi anak-anaknya, yang berikhtiar untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya, serta mencontohkan dan mengajarkan anak-anaknya gaya hidup yang berbasis pada nilai-nilai Islam.

Kedua, seorang istri berperan sebagai pendamping suami, yang membantu suami dalam mengarahkan dan mengorganisir keluarga, agar dapat menjadi keluarga yang bertaqwa kepada Allah SWT, dengan menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang istri juga berperan sebagai ibu bagi anak-anaknya, yang berikhtiar untuk melindungi dan mendidik anak-anaknya, serta mencontohkan dan mengajarkan anak-anaknya gaya hidup yang berbasis pada nilai-nilai Islam.

Ketiga, seorang anak berperan sebagai unsur keluarga yang siap menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, bagi kepentingan kehidupannya di kemudian hari, sebagai respon atas zaman yang dijalaninya.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai…

...
 Solo (Jalur Alternatif) ke kiri, Cangkringan ke atas?

Sabtu, 19 Mei 2012

TIDAK CUKUP "BALANCING LIFE"


Istilah “balancing” memiliki makna sebagai “sesuatu yang sama bobotnya, setara posisinya, atau sama dasar pertimbangannya”. Sementara itu, “life” memiliki makna sebagai “away of living” atau “cara hidup”.

Dengan demikian “balancing life” memiliki makna sebagai “cara hidup seseorang yang didasarkan pada kesadaran, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya memiliki bobot yang sama, setara posisinya, dan sama dasar pertimbangannya.

Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akherat akan Kami (Allah) beri keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia akan Kami berikan baginya keuntungan itu baginya, dan tidak ada baginya satu bagianpun di akherat” (QS.42:20).

Firman Allah SWT dalam QS.42:20 menunjukkan, bahwa tidak cukup “balancing life” dalam mengarungi kehidupan di dunia. Keuntungan di akherat tidaklah sama bobotnya, tidaklah setara posisinya, dan tidak sama dasar pertimbangannya dengan keuntungan dunia. Tepatnya, keuntungan di akherat lebih tinggi bobotnya, lebih tinggi posisinya, dan lebih unggul dasar pertimbangannya dibandingkan dengan keuntungan dunia.

Untuk memperoleh keuntungan akherat, maka setiap manusia wajib menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya di dunia. Ketika seorang manusia bersungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai Islam, maka Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang bersimpati padanya.

Oleh karena itu, Allah SWT memenuhi kebutuhannya secara proporsional, sehingga orang tersebut dapat terus menerus menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya di dunia. Orang tersebut selain akan mendapat keuntungan di akherat kelak, juga menikmati keuntungan di dunia, ketika segenap kebutuhannya dipenuhi Allah SWT secara proporsional.

Dengan demikian “balancing life” tidaklah cukup, melainkan yang tepat adalah hidup proporsional. Utamakan yang lebih berbobot, yang lebih tinggi posisinya, dan yang lebih unggul dasar pertimbangannya. Dengan kata lain, utamakan akherat, karena lebih berbobot, lebih tinggi posisinya, dan lebih unggul dasar pertimbangannya.

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 13 Mei 2012

CRAFTING PERSONAL POLICY


Allah SWT berfirman, “Dia (Allah) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang mempunyai akal” (QS.2:269).

Berdasarkan firman Allah SWT ini diketahui, bahwa: (1) Ada manusia yang diberi hikmah atau kemampuan memahami sesuatu oleh Allah SWT. (2) Agar diberi hikmah oleh Allah SWT, maka setiap manusia hendaknya pandai mengambil pelajaran dengan menggunakan akalnya.

Ketika seorang manusia diberi hikmah atau kemampuan memahami sesuatu oleh Allah SWT dengan menggunakan akalnya, maka ia dapat membuat kebijakan pribadi atau crafting personal policy. 

Tanpa kemampuan crafting personal policy, maka seorang manusia akan ditundukkan oleh orang-orang yang curang, dengan membuatkan personal policy yang curang untuknya. Hal inilah yang mengakibatkan bertambah banyaknya orang-orang yang curang di dunia ini.

Orang-orang yang curang adalah orang-orang yang berstandar ganda dalam memandang sesuatu. Bila sesuatu yang buruk dilakukan oleh dirinya dan kroni-kroninya, maka orang itu akan menyatakan, bahwa yang dilakukan tersebut merupakan sesuatu yang anggun dan mulia.

Sebaliknya, bila sesuatu yang baik dilakukan oleh orang lain di luar dirinya dan kroni-kroninya, maka orang itu akan menyatakan, bahwa yang dilakukan tersebut merupakan sesuatu yang rendah dan nista.

Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya berupaya agar Allah SWT berkenan memberinya hikmah, dengan berikhtiar sungguh-sungguh memanfaatkan akalnya; agar ia tidak mudah diperdaya oleh orang-orang yang curang, dan sekaligus mengurangi jumlah orang-orang yang curang di dunia ini.

Untuk itu, orang yang ingin memperoleh hikmah dari Allah SWT hendaklah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lakukanlah kebajikan sehebat-hebatnya sesuai kemampuan, agar Allah SWT bersimpati padanya, kemudian menganugerahinya hikmah.

Berdasarkan hikmah yang dimilikinya, lakukanlah crafting personal policy, dan laksanakan semua hal yang telah diputuskan. Seiring dengan itu lakukan evaluasi atas beberapa kemungkinan baik dan buruknya suatu keputusan, lalu batalkan bila berpeluang keburukan, dan laksanakan sungguh-sungguh bila berpeluang kebaikan.

Optimislah menghadapi hidup, ketika melaksanakan hasil crafting personal policy, karena Allah SWT akan terus menerus melindungi hambanya. InsyaAllah...

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...

 ...

Sabtu, 12 Mei 2012

Minggu, 06 Mei 2012

IT'S HAPPENING HERE


Istilah ”it’s happening here” dapat dimaknai sebagai ”itulah yang terjadi di sini”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan bahwa sesuatu terjadi atas perkenan Allah SWT. Contoh, ketika ada sebuah keluarga yang bahagia, meskipun penghasilan kepala keluarganya tidak terlalu besar, maka dapat dikatakan “it’s happening here”. 

Dalam konteks sebuah keluarga yang bahagia, meskipun penghasilan kepala keluarganya tidak terlalu besar; maka ingatlah firman Allah SWT, “Janganlah membunuh anak-anakmu, karena takut miskin. Kamilah (Allah) yang memberi rezeki padamu, dan kepada anak-anakmu” (QS.6:151).

Dalam Al Qur’an, Allah SWT seringkali menggunakan istilah “Kami” dan “Aku” secara silih berganti bagi diriNya. Ketahuilah, bahwa ada substansi dan konteks ayat yang berbeda, pada saat Allah SWT menggunakan istilah “Kami” dan “Aku” bagi diriNya.

Berdasarkan substansi dan konteks firman Allah SWT dalam Al Qur’an diketahui, bahwa istilah “Kami” dan “Aku” yang digunakan Allah SWT untuk menyebut diriNya, bukanlah diarahkan pada pengertian tentang jumlah (quantitative), melainkan diarahkan pada pengertian tentang proses (process). 

Ketika Allah SWT menggunakan istilah “Aku” bagi diriNya, hal ini dikarenakan proses yang terjadi langsung dari Allah SWT, dan tidak melibatkan makhluk lain ciptaanNya.

Sementara itu, ketika Allah SWT menggunakan istilah “Kami” bagi diriNya, hal ini dikarenakan proses yang terjadi yang diciptakanNya, melibatkan makhluk lain ciptaanNya.

Contoh dalam QS.6:151, pemberian rezeki dari Allah SWT kepada seseorang (kepala keluarga) yang mempunyai anak, berproses dengan melibatkan makhluk lain ciptaan Allah SWT. It’s happening here. 

Misalnya diawali dengan ilham yang diberikan Allah SWT kepada yang bersangkutan, untuk berinteraksi (bisnis) dengan orang lain. Selanjutnya Allah SWT menggerakkan orang-orang yang terkait dengan bisnis tersebut, untuk mendukung dan membuat bisnis tersebut sukses. It’s happening here. 

Akhirnya yang bersangkutan mendapat keuntungan yang halal dari bisnis tersebut, sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Inilah yang dimaksud dengan “Kamilah yang memberi rezeki padamu, dan kepada anak-anakmu” dalam QS.6:151. It’s happening here. 

Selamat merenungkan, dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT, untuk kebaikan Bangsa Indonesia, Bangsa Palestina, dan Umat Islam di seluruh dunia.

Semoga Allah SWT berkenan meridhai...