Minggu, 24 April 2011

PENGORBANAN DIRI

“Pengorbanan diri” bukanlah terminologi (istilah) yang mengarah pada kejahatan. Sebaliknya, “pengorbanan diri” merupakan terminologi yang mengarah dan menginspirasi kebajikan.


Seorang manusia yang mampu melakukan pengorbanan diri, adalah seorang manusia yang mampu menjadikan dirinya sebagai instrumen kebajikan, yaitu orang yang gemar beribadah kepada Allah SWT, dan gemar memberi manfaat optimal kepada masyarakat, atau rahmatan lil’alamiin.


Seorang manusia yang mampu melakukan pengorbanan diri, adalah seorang manusia yang juga mampu mengendalikan dan mengarahkan dirinya, agar dapat melaksanakan tugas dan fungsi kemanusiaannya. Sebagai manusia, ia wajib beribadah kepada Allah SWT; dan sebagai manusia, iapun wajib berbuat kebajikan kepada sesama manusia.


Oleh karena itu, seorang manusia yang siap melakukan pengorbanan diri akan berupaya memperbaiki diri, agar ia dapat mempersembahkan sesuatu yang terbaik yang ada pada dirinya kepada Allah SWT.


Caranya: Pertama, membangun kualitas diri. Untuk itu ia akan terlebih dahulu memaknai sukses dengan tepat; agar ia dapat membangun percaya diri yang kuat; karena memiliki basis pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang memadai; sehingga ia berpeluang mengatur dan mengembangkan dirinya.


Kedua, meningkatkan kualitas diri. Untuk itu ia akan berupaya meningkatkan kontribusi kebajikannya; dengan cara memperhatikan kelebihan dan kekurangan yang ada pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya; sehingga ia dapat mengeliminasi kekurangan, dan mengembangkan kelebihan yang ada pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya; agar ia dapat menjadi pribadi mandiri yang mampu berkontribusi optimal.


Ketiga, mengembangkan kualitas diri. Untuk itu ia akan berupaya mengendalikan diri; dengan tidak tidak menipu, dan tidak merusak diri sendiri dan orang lain; sehingga ia dapat membuktikan kemuliaan dirinya; melalui kebajikan optimal yang dilakukannya.


Keempat, optimalisasi kualitas diri. Untuk itu ia akan bersungguh-sungguh mengikhtiarkan nasib baiknya; dengan cara mendidik dan meningkatkan disiplin diri, serta meniadakan kesombongan yang ada pada diri; sehingga dapat meningkatkan dampak kebajikan optimalnya, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.


Kelima, ekspresi kualitas diri. Untuk itu ia akan menyembunyikan kebajikan yang pernah dilakukannya; agar semakin banyak orang yang tidak mengetahui kontribusi kebajikannya; sehingga ia berpeluang memperoleh ridha Allah SWT; seraya tetap meningkatkan kekhusuan beribadah kepada Allah SWT, dan meningkatkan kontribusi kebajikan bagi sesama manusia.


Setelah menjadi peribadi yang siap melakukan pengorbanan diri, barulah ia layak berharap menjadi bagian dari orang-orang yang dimaksud oleh Allah SWT, dalam firmanNya:


“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).


Selamat mencoba, semoga Allah SWT meridhai…

Minggu, 17 April 2011

MENGEKANG DIRI SENDIRI

Seorang manusia yang bersungguh-sungguh berupaya menggapai ridha Allah SWT, tentulah hanya akan mempertuhankan Tuhan yang sesungguh-sungguhnya Tuhan, yaitu Allah SWT.


Jika ada seorang manusia yang mempertuhankan sesuatu (manusia, hewan, benda, dan lain-lain) selain Allah SWT, tentulah ia orang yang tertipu. Kondisi ini terjadi karena ia kurang bersungguh-sungguh menggunakan akal dan pikirannya, atau ia tidak berkenan berpikir dan berakal.


Seorang manusia yang mempertuhankan manusia, tentulah seorang manusia yang tertipu; karena Tuhan Yang Maha Esa telah menyatakan dirinya tidak beranak dan tidak diperanakkan (lihat QS.112).


Semoga Allah SWT berkenan memberikan hidayah (petunjuk) bagi orang-orang yang belum mengerti, bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun boleh jadi Allah SWT telah memberikan petunjuk (melalui nilai-nilai Islam), tetapi orang-orang tersebut tetap membangkang kepada Allah SWT.


Dengan kesungguhannya dalam mempertuhankan Allah SWT, maka seorang manusia akan bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah SWT, serta bersungguh-sungguh dalam berkarya dan berikhtiar sebagai bentuk rahmatan lil’alamiin, pada setiap pagi, siang, dan petang. Selain itu pada sepertiga malam ia menyempatkan diri beraudiensi dengan Allah SWT, melalui shalat malam.


Allah SWT berfirman dalam QS.6:160, “Barangsiapa yang datang dengan perbuatan baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat. Dan barangsiapa yang datang dengan kejahatan, maka ia tidak dibalas melainkan yang setimpal dengan perbuatannya, dan ia tidak akan dirugikan (melainkan ia sendiri yang merugikan diri sendiri).”


Hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan menunjukkan tentang terjadinya proses mengekang diri pada seseorang. Ia berupaya mengekang diri untuk tidak melakukan hal-hal yang sia-sia dalam hidupnya.


Ia bersungguh-sungguh mempertuhankan Allah SWT, dengan segala implikasi logisnya, seperti hidup lebih sederhana (efektif dan efisien), dan lebih bermanfaat (rahmatan lil’alamiin).


Dengan kemampuan mengekang diri, maka hidupnya akan lebih tertata, dan lebih memungkinkan baginya mencapai sukses, yaitu menggapai ridha Allah SWT.


Sebagai orang yang mampu mengekang diri, maka ia akan: Pertama, membangun komitmen yang kuat untuk tidak berpikir, bertindak, bersikap, dan berperilaku yang bertentangan dengan firman Allah SWT.


Kedua, karena Allah SWT juga memerintahkan agar setiap manusia mampu memberi manfaat optimal bagi lingkungannya, maka ia berkomitmen untuk menjadikan pikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya bermanfaat optimal bagi lingkungannya.


Ketiga, ia bersungguh-sungguh mewujudkan komitmennya seraya memohon pertolongan pada Allah SWT, agar ia dapat mewujudkan komitmennya.


Selamat mencoba, insyaAllah berhasil…

Minggu, 10 April 2011

MENGHARGAI DIRI SENDIRI

Setiap manusia memiliki harga diri, karena ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, sebelum berharap orang lain menghargai dirinya.


Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, maka seorang manusia yang telah bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, hendaknya bersedia dan mampu beriman kepada Allah SWT. Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan dapat menghargai dirinya secara obyektif.


Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan faham, bahwa ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT, juga akan sulit memuliakan manusia. Baginya kemuliaan hanyalah milik dirinya, dan bukanlah milik orang lain.


Contoh nyata keburukan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dapat dilihat pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina. Bagi Pemerintah Israel kemuliaan hanyalah milik Bangsa Yahudi, dan bukan milik Bangsa Palestina. Oleh karena itu, kebiadaban adalah sesuatu yang layak dilakukan oleh Bangsa Yahudi (Pemerintah Israel), demikianlah mindset Pemerintah Israel.


Satu hal yang dilupakan oleh Pemerintah Israel, adalah “kebiadaban” yang mereka perlihatkan menunjukkan level atau kelas manusia yang mereka sandang. Dengan kata lain, perilaku yang ditunjukkan Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina memperlihatkan, bahwa Pemerintah Israel berada pada level manusia biadab, dan bukan berada pada level manusia beradab.


Secara berkala Pemerintah Israel melakukan serangan udara ke wilayah Gaza untuk membunuh warga Gaza. Sementara itu, masyarakat dunia diam saja ketika pada saat yang sama Gaza diblokade oleh Pemerintah Israel. Dalam seminggu ini telah tewas 20 orang warga Gaza akibat serangan udara Pemerintah Israel. Untuk wilayah Tepi Barat, Pemerintah Israel mendorong pemukiman Yahudi, dengan melakukan tekanan militer terhadap Bangsa Palestina di wilayah tersebut.


Oleh karena itu, setiap orang yang ingin menghargai diri sendiri, hendaklah ia beriman kepada Allah SWT agar ia menjadi bagian dari manusia beradab, yaitu manusia yang mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam tata kesopanan dan etika sebagai manusia mulia yang dimuliakan Allah SWT, dengan cara memuliakan manusia lainnya.


Untuk itu, setiap manusia yang ingin menghargai diri sendiri, hendaknya mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku benar atau obyektif, dengan:


Pertama, memperhatikan data secara cermat dan mengubahnya menjadi informasi.


Kedua, melakukan analisis terhadap informasi yang diperoleh dan merumuskan beberapa alternatif tindakan.


Ketiga, menyusun alternatif tindakan dalam suatu urutan prioritas.


Keempat, menetapkan urutan pertama dalam prioritas sebagai tindakan yang akan dilaksanakan.


Kelima, melaksanakan tindakan yang telah ditetapkan atau dipilih untuk dilaksanakan.


Sudah saatnya seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain faham, bahwa kalau ia melakukan kesalahan, misal: tidak memuliakan orang lain, maka hal itu akan kembali pada dirinya sendiri, misal: ia dikenal sebagai pribadi yang tidak mulia. Kebaikan atau kebajikan yang dilakukannya terhadap orang lain sesungguhnya kembali pada dirinya sendiri, di mana kelak ia dikenal sebagai pribadi yang berciri kebajikan. Selain itu, seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain wajib beryukur atas segenap rahmat Allah SWT kepadanya, bersabar dalam melakukan kebajikan, dan ikhlas, sesuai QS.112, ketika melakukan kebajikan.


Segenap ikhtiar untuk menghargai diri sendiri ini bersesuaian dengan firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, mereka itu orang-orang yang shiddiqien (benar/obyektif) dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhannya (Allah). Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Allah), mereka itulah penghuni-penghuni neraka” (QS.57:19).


Selamat berikhtiar, dan semoga Allah SWT berkenan…

Minggu, 03 April 2011

MEMBANGUN KETERGANTUNGAN DIRI

Secara umum, ketergantungan diri pada sesuatu adalah terlarang. Contoh, bagi orang yang mengalami ketergantungan obat, maka ia akan dirawat di rumah sakit ketergantungan obat. Satu-satunya ketergantungan yang dibolehkan, adalah ketergantungan kepada Allah SWT. Mindset ini diajarkan oleh Allah SWT dalam QS.112:2.


Allah SWT mengajarkan, “Katakanlah, “Dialah Alah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak, dan tiada pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya” (QS.112:1-4).


Berdasarkan petunjuk Allah SWT tersebut, maka sudah selayaknya manusia membangun ketergantungan dirinya kepada Allah SWT. Ketergantungan ini akan menjadikan manusia gemar berbuat kebajikan, karena Allah SWT memerintahkan manusia untuk berbuat kebajikan.


Petunjuk Allah SWT merupakan sesuatu yang fungsional, bagi seorang manusia. Tanpa petunjuk Allah SWT manusia akan kehilangan fungsinya sebagai manusia. Lebih lanjut, tanpa fungsi, manusia akan terhalang dari perannya sebagai manusia. Padahal setiap makhluk atau ciptaan Allah SWT memiliki fungsinya masing-masing.


Kemuliaan seorang manusia dapat diamati dari peran dan fungsinya sebagai manusia. Fungsi yang difahami dengan sungguh-sungguh akan terformat dalam mindset seorang manusia. Mindset ini akan membentuk sikap yang menyetujui dan memutuskan diri sebagai penggemar berbuat kebajikan.


Keputusan diri sebagai penggemar berbuat kebajikan, diwujudkan di alam nyata dengan tindakan-tindakan yang bernuansa kebajikan. Tindak kebajikan ini diulang-ulang terus menerus dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi perilaku diri. Inilah karakter atau ciri seorang manusia yang memiliki ketergantungan pada Allah SWT.


Tepatnya, seorang manusia yang memiliki ketergantungan pada Allah SWT akan: Pertama, mematuhi perintahnya, dan tidak akan melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu, hidupnya akan diisi dengan kegiatan yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT dan rahmatan lil’alamiin.


Kedua, tidak malu, ketika ia diberi label “tradisional”, karena baginya “tradisional” bermakna, sebagai kesiapan seorang manusia untuk melakukan tradisi kebajikan secara rasional dalam hidupnya.


Ketiga, tenang saja, ketika ia diberi label “modern”, karena baginya “modern” bermakna, sebagai kesiapan seorang manusia untuk membangun momen dermawan pada setiap kesempatan. Sudah saatnya momen-momen yang ada dimanfaatkan untuk menunaikan zakat, infaq, dan sedekah.


Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya berupaya membangun ketergantungan diri kepada Allah SWT, dan tidak tergantung pada sesuatu yang lain selain Allah SWT.


Selamat mencoba…