Minggu, 31 Oktober 2010

BERBAGI DENGAN KARYAWAN

Tanggal 31 Oktober 2010 SAN Management (dahulu: Suprayitno Management) mengadakan Seminar Socio Motivation. Sebagaimana seminar-seminar Socio Motivation yang biasa dilakukan, seminar kali ini tetap memasang tagline “Membangun Motivasi Yang Responsif Terhadap Dinamika Sosial”, sedangkan tema yang dipilih untuk dibahas dan didiskusikan adalah “Mampu Mengatur Diri”.

SAN Management yang memiliki tagline “Ada Untuk Berbagi Motivasi” pada seminar kali ini mengundang karyawan, yang menekuni berbagai profesi. Dengan semangat yang tinggi, para karyawan ini bersedia “hanyut” dalam diskusi yang difasilitasi Aristiono Nugroho (penggagas dan narasumber Socio Motivation).

Para karyawan peserta diskusi sepakat, bahwa setiap orang perlu menetapkan visi (cita-cita) hidupnya, yang kemudian diteruskan dengan menyusun kegiatan utama. Hal selanjutnya adalah memilih ruang lingkup aktivitas, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan kegiatan utama.

Kegiatan utama yang penting bagi para karyawan, antara lain: Pertama, kegiatan mengelola waktu. Kegiatan ini penting, karena orang sukses dan orang gagal memiliki jumlah waktu yang sama, yaitu 24 jam setiap hari. Hal yang membedakan keduanya terletak pada kemampuan memanfaatkan waktu. Orang-orang sukses sangat cermat dalam memanfaatkan waktu, sebaliknya orang-orang gagal sangat menganggap remeh waktu.

Kedua, kegiatan mengelola pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku. Kegiatan ini penting, karena orang-orang sukses cermat dalam menawarkan berbagai pilihan kegiatan yang berkebajikan melalui pemikirannya. Berbagai pertimbangan itu kemudian salah satunya dipilih untuk dilaksanakan. Penetapan memilih salah satu alternatif tindakan merupakan bagian dari sikap, sedangkan pelaksanaannya merupakan tindakan. Tindakan-tindakan terbaik kemudian diulang-ulang, sehingga menjadi perilaku.

Ketiga, kegiatan membangun disiplin. Kegiatan ini penting, karena seringkali ada pihak yang kurang mampu membangun disiplin. Disiplin adalah melakukan tindakan secara terkendali dengan cermat, tepat dan terus menerus. Contoh: seorang karyawan toko yang disiplin, akan datang tepat waktu, melayani pembeli dengan baik, dan pulang tepat waktu.

Keempat, kegiatan membuat rencana. Kegiatan ini dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan kekuatan, kesempatan, kelemahan, dan ancaman. Kekuatan yang perlu diperhatikan, antara lain kemampuan yang dimiliki, sarana dan prasarana yang tersedia, serta waktu yang tersedia. Selain itu perhatikan peluang yang ada, hambatan fisik dan non fisik yang dapat menghalangi sukses, serta kemungkinan buruk yang terjadi.

Kelima, kegiatan yang kreatif. Kegiatan ini dilakukan dengan memikirkan, dan menerapkan hal-hal baru, misal: Apabila membuka toko beras, bukalah toko beras di lokasi yang belum ada toko beras. Atau, apabila telah ada toko beras di suatu wilayah, maka bukalah toko beras yang berbeda dalam hal kualitas beras dan kualitas pelayanan. Pengertian yang berbeda ini hendaknya dimaknai sebagai sesuatu yang baik. Tepatnya, lebih baik dari yang lain.

Sabtu, 23 Oktober 2010

MAMPU MENOLONG DIRI SENDIRI

Menolong (help) adalah membuat sesuatu menjadi mudah bagi seseorang, atau membuat seseorang menjadi mudah dalam melakukan sesuatu. Menolong diri sendiri (self help) adalah membuat sesuatu menjadi mudah bagi diri sendiri, atau membuat diri sendiri menjadi mudah dalam melakukan sesuatu.

Dengan demikian pengertian “menolong diri sendiri” tersebut dapat difahami sebagai sebuah proses membuat sesuatu dapat diterima dengan mudah, dan proses membuat sesuatu dapat dilakukan dengan mudah. Tepatnya, diri sendiri menjadi lebih mudah menerima dan mudah melakukan sesuatu.

Sesuatu dapat diterima bila: Pertama, sesuatu dapat disetujui secara kontent (berdasarkan isinya) dan kontekstual (berdasarkan kaitannya dengan hal-hal lain) oleh diri sendiri. Kedua, sesuatu difahami sebagai sebuah kebenaran secara kontent dan kontekstual, meskipun dalam pelaksanaannya berakibat tidak menyenangkan bagi diri sendiri. Ketiga, sesuatu difahami sebagai sebuah situasi dan kondisi yang secara kontent dan konteks memberi peluang menguntungkan bagi diri sendiri untuk bergabung.

Sementara itu, sesuatu dapat dilakukan bila: Pertama, sesuatu difahami sebagai sesuatu yang perlu, penting, berguna, bermanfaat, dan membahagiakan bagi diri sendiri. Kedua, sesuatu difahami sebagai suatu situasi dan kondisi yang memaksa diri untuk melakukan sesuatu demi kepentingan diri sendiri. Ketiga, sesuatu difahami sebagai bagian dari suatu proses yang sedang diperjuangkan oleh diri sendiri, sehingga sesuatu itu perlu dilakukan.

Menolong diri sendiri bukanlah konsep asosial, melainkan sebuah konsep yang sangat menghormati konteks sosial. Ketika seseorang sedang menolong dirinya sendiri, maka ia memerlukan orang lain sebagai mitra. Orang lain yang berperan sebagai mitra tersebut berguna, untuk:

Pertama, pendorong diterimanya sesuatu, karena relevan dengan interaksi sosial yang sedang dibangun oleh seseorang (yang sedang menolong dirinya sendiri) dengan mitranya.

Kedua, pendorong diterimanya sesuatu, karena meskipun dalam pelaksanaannya berakibat tidak menyenangkan bagi diri sendiri, namun ternyata bermanfaat bagi mitranya.

Ketiga, pendorong diterimanya sesuatu, karena memberi peluang menguntungkan bagi diri sendiri dan mitra yang bersedia bergabung dengannya.

Keempat, pendorong dilakukannya sesuatu, karena sesuatu itu difahami sebagai sesuatu yang perlu, penting, berguna, bermanfaat, dan membahagiakan bagi diri sendiri dan mitranya.

Kelima, pendorong dilakukannya sesuatu, karena sesuatu itu difahami sebagai suatu situasi dan kondisi yang memaksa diri untuk melakukan sesuatu demi kepentingan diri sendiri dan mitranya.

Keenam, pendorong dilakukannya sesuatu, karena sesuatu itu difahami sebagai bagian dari suatu proses yang sedang diperjuangkan oleh diri sendiri dan mitranya, sehingga sesuatu itu perlu dilakukan.

Minggu, 17 Oktober 2010

BERBAGI DENGAN MAHASISWA

Hari Minggu tanggal 17 Oktober 2010 merupakan hari yang membahagiakan, karena saat itu Seminar Socio Motivation dihadiri oleh para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Seminar ini membahagiakan, karena aliran informasi, pengetahuan, dan pengalaman tidak berlangsung satu arah, melainkan berlangsung secara timbal balik antara peserta dengan narasumber.

Tema yang dipilih dalam Seminar Socio Motivation saat itu adalah “Mampu Beralamat Sendiri”. Penggunaan istilah “beralamat sendiri” tentulah tidak dimaknai secara etimologis, melainkan dimaknai secara simbolis, yang berarti “berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku mandiri”.

Dalam suasana berbagi, narasumber dan para mahasiswa peserta seminar sepakat, bahwa “beralamat sendiri” barulah terwujud bila seseorang berkenan membangun percaya diri tahap demi tahap. Dengan kata lain “beralamat sendiri” akan terwujud tahap demi tahap seiring dengan terwujudnya percaya diri yang juga tahap demi tahap.

“Beralamat sendiri” dibangun dari latar belakang yang berkaitan dengan pentingnya berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku mandiri bagi seseorang. Selanjutnya latar belakang ini diperkaya dengan berbagai referensi dan pengalaman, yang mengarah pada dorongan berbuat kebajikan. Ketika proses menuju karakter “beralamat sendiri” sedang berjalan, jangan segan-segan untuk terus memperbaiki diri seiring dengan proses yang tetap berlangsung.

“Beralamat sendiri” sesungguhnya bukanlah konsepsi individual yang steril dari konteks sosial, melainkan justru sebuah konsepsi individual yang berkonteks sosial. “Beralamat sendiri” akan bersinggungan dengan pihak lain melalui beberapa “jalan”, seperti:

Pertama, dengan menunjukkan pentingnya pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku mandiri bagi orang lain. Tunjukkan bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang diekspresikan sangat diperlukan bagi orang lain.

Kedua, dengan menunjukkan akibat baik atau dampak positif dari pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku mandiri bagi orang lain. Tunjukkan bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang diekspresikan mampu memberi manfaat, keuntungan, kesejahteraan, dan kenyamanan bagi orang lain.

Ketiga, dengan menunjukkan bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku mandiri seiring dan sejalan dengan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku masyarakat. Tunjukkan bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang diekspresikan mampu berkontribusi dalam mendukung dan menjadi bagian dari pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku masyarakat.

Jumat, 15 Oktober 2010

MAMPU MENGEKSPRESIKAN DIRI

Ekspresi (expression), adalah kondisi ketika seseorang memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain. Dengan demikian “mampu mengekspresikan diri”, adalah kemampuan seseorang dalam memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya kepada orang lain, sesuai dengan kepentingan yang sedang diperjuangkannya.

Ketika ia sedang memperjuangkan kebajikan, maka ekspresinya akan memperlihatkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang mengarah pada kebajikan. Ekspresi kebajikan dapat dilakukan dengan cara:

Pertama, memanfaatkan kata-kata. Ia dapat memilih kata-kata yang tepat agar orang lain dapat mengenali pemikiran dan sikapnya atas sesuatu. Untuk itu ia sangat membutuhkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

Kedua, memanfaatkan wajah. Ia dapat memperlihatkan wajah tertentu untuk pemikiran atau sikap tertentu. Ia memperlihatkan wajah gembira bila ia setuju pada suatu kondisi tertentu, ia juga dapat mengerutkan keningnya untuk memperlihatkan ekspresi penolakan atau keterkejutan atas suatu kondisi, atau ia memperlihatkan senyum hambar ketika ia bingung atau ragu-ragu atas suatu kondisi tertentu.

Ketiga, memanfaatkan gestures, yaitu suatu gerakan tangan, badan, atau kepala yang diperlihatkan oleh seseorang, untuk menunjukkan pemikiran dan sikapnya atas suatu kondisi tertentu. Ia dapat menggelengkan kepala sebagai tanda ia tidak setuju atas suatu kondisi, atau ia membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan atas pemikiran atau sikap orang yang di hadapannya.

Gestures juga dapat dilakukan oleh seseorang dengan memperlihatkan tindakan tertentu, untuk memberitahukan pemikiran dan sikapnya kepada orang lain atas suatu kondisi tertentu. Misalnya, ia menyingkirkan meja dan kursi yang berada di tengah ruangan, sebagai tanda bahwa ia tidak setuju atas peletakan kursi di tengah ruangan.

Setelah memiliki kemampuan mengekspresikan diri, hal lain yang perlu diperhatikan adalah konteks ekspresi. Sebagai contoh:

Pertama, ada sesuatu yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk konteks ini, maka ekspresi hanya dilakukan kepada orang – orang tertentu yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten atas suatu masalah. Caranya dengan memberikan informasi yang mengejutkan atau sangat rahasia tersebut. Cara lainnya adalah dengan mengijinkan data tertentu dilihat oleh orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten.

Ekspresi atas hal – hal yang bersifat rahasia dilakukan dengan terlebih dahulu membuka tabir informasi atas suatu kondisi atau situasi tertentu. Dengan upaya ini, maka ia akan dapat membuka atau mengetahui sesuatu yang sesungguhnya bersifat rahasia atau tersembunyi. Setelah itu, barulah informasi ini diberikan kepada orang yang dapat dipercaya, berwenang, atau berkompeten.

Kedua, ada sesuatu yang boleh jadi belum diminati orang lain yang berkaitan dengan ekspresi. Untuk mengekspresikan diri atas sesuatu hal yang belum diminati oleh orang lain, maka terlebih dahulu harus ditumbuhkan minat tersebut. Caranya dengan memperlihatkan, bahwa sesuatu yang perlu diminati itu adalah sesuatu yang penting, perlu dilakukan, atau membutuhkan perhatian khusus.

Jumat, 08 Oktober 2010

TERBUKTI DENGAN SENDIRINYA

Banyak makna yang diberikan oleh masyarakat bagi istilah “bukti” (evidence). Pertama, “bukti” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dipercaya benar adanya. Kondisi seperti ini biasanya dikenali sebagai fakta (fact).


Kedua, “bukti” juga dapat dimaknai sebagai suatu informasi yang diberikan dengan tujuan untuk membantu pembuktian atas sesuatu. Kondisi ini biasanya dilakukan di pengadilan untuk mengungkap suatu kasus tertentu, baik yang bersifat pidana, perdata, tata usaha negara, maupun konstitusional.


Dalam konteks motivasi, “bukti” hendaknya dimaknai sebagai fakta, yaitu sesuatu yang benar (true) dan sesuatu yang nyata (real). Untuk itu dibutuhkan proses tertentu, agar sesuatu diterima sebagai sesuatu yang benar dan nyata. Kondisi ini biasa dikenali sebagai proses pembuktian.


Dengan demikian istilah “terbukti dengan sendirinya” tidak dimaksudkan untuk menafikan (meniadakan) proses, melainkan justru ingin mendorong dilakukannya proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”, karena mereka tidak mampu melihat proses yang ada. Hal ini disebabkan proses tersebut berlangsung sangat alami (natural), sehingga hasil yang diperoleh nampak sebagai sesuatu yang wajar terjadi.


Sebagai contoh, seseorang yang berjuang mencapai sukses, dengan melakukan berbagai upaya secara sistematis, efektif, dan efisien, maka lambat laun akan sukses. Ketika orang tersebut telah mencapai sukses, maka orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain tidak mampu melihat proses yang ada, karena orang tersebut menjalani proses kehidupannya dengan sangat alami. Ketika gagal, ia bangkit kembali untuk mencoba membangun kebajikan dengan cara yang lain.


Sampai suatu saat berbagai kebajikan yang diikhtiarkannya terakumulasi sebagai kesuksesan. Saat itulah, segala sesuatu yang dilakukannya bagi orang lain akan nampak sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kondisi demikian, di mata banyak orang (orang lain), kesuksesannya akan difahami sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Sesuatu “terbukti dengan sendirinya”, karena ada unsur “keniscayaan” dalam pembuktiannya. Keniscayaan muncul sebagai konsekuensi logis, atas berbagai ikhtiar kebajikan yang dirancang dan diimplementasikan oleh orang tersebut. Keniscayaan barulah muncul, bila ikhtiar dilakukan secara sistematis, efektif, dan efisien.


Dengan demikian, mari wujudkan “terbukti dengan sendirinya” melalui proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain tidak mengenali prosesnya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami. Atau orang lain menganggapnya sebagai “terbukti dengan sendirinya”.

Minggu, 03 Oktober 2010

SOCIO MOTIVATION DI SUPRAJITNO MANAGEMENT

Sejak diluncurkannya “Socio Motivation” oleh Aristiono Nugroho pada hari Rabu tanggal 12 Mei 2010, Suprajitno Management telah tertarik untuk bekerjasama. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang (untuk membangun chemistry), akhirnya pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 2010 disepakati kerjasama antara Aristiono Nugroho selaku penggagas “Socio Motivation” dengan Suprajitno Management.


Berdasarkan kerjasama itu, Aristiono Nugroho berkewajiban untuk terus menerus mengembangkan “Socio Motivation” bagi berbagai kalangan (pelajar, mahasiswa, dan umum). Sementara itu, Suprajitno Management berkewajiban untuk memasarkan “Socio Motivation” bagi berbagai kalangan.


Pada saat peresmian kerjasama, juga dilakukan pelatihan motivasi bagi pelajar dari berbagai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Yogyakarta, dengan tema “Membangun Percaya Diri”. Pelatihan motivasi diikuti oleh para pelajar ini dengan penuh antusias, sehingga mereka mengerti bahwa percaya diri merupakan sesuatu yang penting. Percaya diri dibangun oleh seseorang melalui keyakinan, bahwa ia memiliki kemampuan, dapat dipercaya, dan memiliki potensi yang dapat diekspresikan.

Jumat, 01 Oktober 2010

MEMBANGUN HARGA DIRI

Harga diri (esteem) adalah suatu kondisi di mana seseorang menghormati dirinya sendiri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Untuk itu ia menunjukkan perilaku yang halus, lembut, dan tidak kasar, serta berupaya menunjukkan pada khalayak bahwa ia memperhatikan kesetaraan kepentingan dirinya dengan orang lain.


Ketika seseorang berupaya membangun harga dirinya, maka ada beberapa hal yang harus ia lakukan, yaitu: Pertama, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam, atau larut dalam masalah, karena kondisi ini akan menjadikan ia hidup tanpa solusi atas masalah yang dihadapi. Kedua, ia harus menghindarkan diri dari kondisi tenggelam dalam kepasrahan, serta jangan pernah hanya mengharap keajaiban dan tanpa upaya, melainkan terus menerus berupaya mengatasi masalah sebagai suatu cara membuat keajaiban. Ketiga, ia harus lakukan penataan emosi dalam format sadar diri, dengan memanfaatkan potensi untuk mencari solusi.


Ketiga upaya tersebut membutuhkan kesediaannya untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, ia harus memperhatikan content, konten, atau isi, seperti: isi pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri sendiri. Kedua, ia harus memperhatikan context, konteks, atau relevansi, seperti: berbagai situasi dan kondisi yang terkait dengan interaksi antara yang bersangkutan dengan orang lain. Ketiga, ia harus memperhatikan goal atau tujuan, seperti: pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain.


Setiap orang hendaknya bersegera membangun harga diri, dengan cara memberi citra baik bagi dirinya, melalui berbagai aktivitas kebajikan. Salah satu kebajikan yang dapat diraih melalui pengendalian diri adalah menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.


Perilaku menahan amarah merupakan perilaku seseorang yang memiliki harga diri. Perilaku ini berpasangan secara relasional (sebab akibat) dengan perilaku memaafkan kesalahan orang lain. Kedua perilaku ini dapat dipandang sebagai perilaku yang bersifat parallel (sejajar), maupun linear (serial). Dalam perspektif parallel masing-masing perilaku (menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain) difahami dapat muncul bersamaan. Sedangkan dalam perspektif linear difahami, bahwa perilaku diawali oleh perilaku menahan amarah. Perilaku ini memberi kesempatan pada individu yang bersangkutan untuk memunculkan perilaku memaafkan kesalahan orang lain.


Seseorang yang memiliki harga diri akan secara sadar mengekspresikan perilaku menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Kesadaran diri sendiri ini mencakup dua hal, yaitu: kesadaran terhadap adanya proses berpikir atau metakognisi (metacognition), dan kesadaran terhadap adanya penataan emosi atau metamood.


Metakognisi dan metamood menghasilkan kesadaran individu terhadap adanya pemikiran tentang perlunya penataan emosi. Hal ini memberi pilihan bagi individu tersebut untuk melakukan penekanan emosi, yang akan menimbulkan pemberontakan; atau melakukan pembebasan emosi, yang akan menimbulkan kejenuhan.


Oleh karena penekanan dan pembebasan emosi menimbulkan efek negatif pada individu, berupa pemberontakan dan kejenuhan pada diri individu yang bersangkutan, maka dibutuhkan adanya solusi emosional berupa pengendalian emosi. Pengendalian emosi, merupakan konsepsi perilaku diri sendiri yang bersifat individual, sadar, rasional, internal, dan sukarela.


Seseorang yang mampu mengendalikan emosi memiliki karakteristik, sebagai berikut: Pertama, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan dapat dimohon pertolonganNya terhadap apapun situasi dan kondisi yang dialami. Kedua, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima informasi, deskripsi, atau berita apapun. Ketiga, ia bersikap dan berperilaku tetap tenang, saat menerima pengakuan dari pihak yang telah berbuat salah atau merugikan dirinya. Keempat, ia memiliki kesabaran (dalam arti tetap gigih mencari solusi) dan dapat menahan perasaan, ketika mengetahui ada kejanggalan atau mengalami situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan.


Pengendalian emosi yang dilakukan oleh individu, akan dapat menetralisir pemberontakan dan kejenuhan diri, melalui penyikapan kebutuhan secara tepat, yaitu: ada kebutuhan emosi yang dapat dipenuhi secara proporsional karena bermanfaat; dan ada kebutuhan emosi yang tidak dapat dipenuhi, karena tidak bermanfaat. Ketika seseorang berhasil melakukan hal ini, maka ia telah mengakses jalan bagi pembangunan dirinya menjadi manusia yang memiliki harga diri.