Jumat, 08 Oktober 2010

TERBUKTI DENGAN SENDIRINYA

Banyak makna yang diberikan oleh masyarakat bagi istilah “bukti” (evidence). Pertama, “bukti” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dipercaya benar adanya. Kondisi seperti ini biasanya dikenali sebagai fakta (fact).


Kedua, “bukti” juga dapat dimaknai sebagai suatu informasi yang diberikan dengan tujuan untuk membantu pembuktian atas sesuatu. Kondisi ini biasanya dilakukan di pengadilan untuk mengungkap suatu kasus tertentu, baik yang bersifat pidana, perdata, tata usaha negara, maupun konstitusional.


Dalam konteks motivasi, “bukti” hendaknya dimaknai sebagai fakta, yaitu sesuatu yang benar (true) dan sesuatu yang nyata (real). Untuk itu dibutuhkan proses tertentu, agar sesuatu diterima sebagai sesuatu yang benar dan nyata. Kondisi ini biasa dikenali sebagai proses pembuktian.


Dengan demikian istilah “terbukti dengan sendirinya” tidak dimaksudkan untuk menafikan (meniadakan) proses, melainkan justru ingin mendorong dilakukannya proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”, karena mereka tidak mampu melihat proses yang ada. Hal ini disebabkan proses tersebut berlangsung sangat alami (natural), sehingga hasil yang diperoleh nampak sebagai sesuatu yang wajar terjadi.


Sebagai contoh, seseorang yang berjuang mencapai sukses, dengan melakukan berbagai upaya secara sistematis, efektif, dan efisien, maka lambat laun akan sukses. Ketika orang tersebut telah mencapai sukses, maka orang lain memahaminya sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Orang lain tidak mampu melihat proses yang ada, karena orang tersebut menjalani proses kehidupannya dengan sangat alami. Ketika gagal, ia bangkit kembali untuk mencoba membangun kebajikan dengan cara yang lain.


Sampai suatu saat berbagai kebajikan yang diikhtiarkannya terakumulasi sebagai kesuksesan. Saat itulah, segala sesuatu yang dilakukannya bagi orang lain akan nampak sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kondisi demikian, di mata banyak orang (orang lain), kesuksesannya akan difahami sebagai sesuatu yang “terbukti dengan sendirinya”.


Sesuatu “terbukti dengan sendirinya”, karena ada unsur “keniscayaan” dalam pembuktiannya. Keniscayaan muncul sebagai konsekuensi logis, atas berbagai ikhtiar kebajikan yang dirancang dan diimplementasikan oleh orang tersebut. Keniscayaan barulah muncul, bila ikhtiar dilakukan secara sistematis, efektif, dan efisien.


Dengan demikian, mari wujudkan “terbukti dengan sendirinya” melalui proses pembuktian secara sistematis, efektif, dan efisien, sehingga orang lain tidak mengenali prosesnya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami. Atau orang lain menganggapnya sebagai “terbukti dengan sendirinya”.

2 komentar: