Setiap manusia memiliki harga diri, karena ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, setiap manusia hendaknya bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, sebelum berharap orang lain menghargai dirinya.
Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, maka seorang manusia yang telah bersedia dan mampu menghargai diri sendiri, hendaknya bersedia dan mampu beriman kepada Allah SWT. Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan dapat menghargai dirinya secara obyektif.
Tanpa iman kepada Allah SWT, seorang manusia tidak akan faham, bahwa ia merupakan makhluk mulia yang diciptakan Allah SWT, dan dimuliakan oleh Allah SWT. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT, juga akan sulit memuliakan manusia. Baginya kemuliaan hanyalah milik dirinya, dan bukanlah milik orang lain.
Contoh nyata keburukan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dapat dilihat pada pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina. Bagi Pemerintah Israel kemuliaan hanyalah milik Bangsa Yahudi, dan bukan milik Bangsa Palestina. Oleh karena itu, kebiadaban adalah sesuatu yang layak dilakukan oleh Bangsa Yahudi (Pemerintah Israel), demikianlah mindset Pemerintah Israel.
Satu hal yang dilupakan oleh Pemerintah Israel, adalah “kebiadaban” yang mereka perlihatkan menunjukkan level atau kelas manusia yang mereka sandang. Dengan kata lain, perilaku yang ditunjukkan Pemerintah Israel terhadap Bangsa Palestina memperlihatkan, bahwa Pemerintah Israel berada pada level manusia biadab, dan bukan berada pada level manusia beradab.
Secara berkala Pemerintah Israel melakukan serangan udara ke wilayah Gaza untuk membunuh warga Gaza. Sementara itu, masyarakat dunia diam saja ketika pada saat yang sama Gaza diblokade oleh Pemerintah Israel. Dalam seminggu ini telah tewas 20 orang warga Gaza akibat serangan udara Pemerintah Israel. Untuk wilayah Tepi Barat, Pemerintah Israel mendorong pemukiman Yahudi, dengan melakukan tekanan militer terhadap Bangsa Palestina di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, setiap orang yang ingin menghargai diri sendiri, hendaklah ia beriman kepada Allah SWT agar ia menjadi bagian dari manusia beradab, yaitu manusia yang mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam tata kesopanan dan etika sebagai manusia mulia yang dimuliakan Allah SWT, dengan cara memuliakan manusia lainnya.
Untuk itu, setiap manusia yang ingin menghargai diri sendiri, hendaknya mampu berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku benar atau obyektif, dengan:
Pertama, memperhatikan data secara cermat dan mengubahnya menjadi informasi.
Kedua, melakukan analisis terhadap informasi yang diperoleh dan merumuskan beberapa alternatif tindakan.
Ketiga, menyusun alternatif tindakan dalam suatu urutan prioritas.
Keempat, menetapkan urutan pertama dalam prioritas sebagai tindakan yang akan dilaksanakan.
Kelima, melaksanakan tindakan yang telah ditetapkan atau dipilih untuk dilaksanakan.
Sudah saatnya seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain faham, bahwa kalau ia melakukan kesalahan, misal: tidak memuliakan orang lain, maka hal itu akan kembali pada dirinya sendiri, misal: ia dikenal sebagai pribadi yang tidak mulia. Kebaikan atau kebajikan yang dilakukannya terhadap orang lain sesungguhnya kembali pada dirinya sendiri, di mana kelak ia dikenal sebagai pribadi yang berciri kebajikan. Selain itu, seorang manusia yang menghargai diri sendiri dan orang lain wajib beryukur atas segenap rahmat Allah SWT kepadanya, bersabar dalam melakukan kebajikan, dan ikhlas, sesuai QS.112, ketika melakukan kebajikan.
Segenap ikhtiar untuk menghargai diri sendiri ini bersesuaian dengan firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, mereka itu orang-orang yang shiddiqien (benar/obyektif) dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhannya (Allah). Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Allah), mereka itulah penghuni-penghuni neraka” (QS.57:19).
Selamat berikhtiar, dan semoga Allah SWT berkenan…
Kemuliaan itu bukan dari apa yang disandangnya, tapi apa yang dilakukan atau yang telah diusahakannya dalam hidupnya. Dan Allah melihat apa yang kita usahakan...
BalasHapusUntuk Sahabatku "Secerah Pewarna":
BalasHapusKata "sandang" memiliki dua makna, yaitu makna harfiah (sesuai arti kata) dan makna simbolik (sesuai hakekat sesuatu).
Dalam makna harfiah, "sandang" berarti pakaian, sesuatu yang digunakan, atau sesuatu yang melekat di badan.
Dalam makna simbolik, "sandang" berarti sifat, karakter, atau ciri-ciri yang diperlihatkan oleh seseorang atau suatu organisasi.
Dalam artikel "Menghargai Diri Sendiri", kata sandang dimuat pada alinea ke-5, sebagai berikut: Satu hal yang dilupakan oleh Pemerintah Israel, adalah "kebiadaban" yang mereka perlihatkan menunjukkan level atau kelas manusia yang yang mereka sandang.
Pengertian kata "sandang" dalam kalimat ini adalah sifat, karakter, atau ciri-ciri yang diperlihatkan, yang dalam hal ini oleh Pemerintah Israel, yaitu berciri "bangsa biadab", bukan "bangsa beradab".
Dengan demikian dalam konteks artikel ini nasehat dari Sahabatku "Secerah Pewarna": "Kemuliaan itu bukan dari apa yang disandangnya", menjadi kurang tepat (khusus dalam artikel ini).
Karena dalam artikel ini, kemuliaan itu justru dari apa yang disandangnya. Oleh karena Pemerintah Israel menyandang level atau kelas manusia yang biadab,maka Pemerintah Israel tentulah bukan kumpulan orang-orang beradab, melainkan kumpulan orang-orang biadab.
Sekian dulu yaa... sharing-nya. Thanks atas komentarnya.
SUBHANALLOH SAYA SUKA DENGAN BLOG INI :)
BalasHapus