Seorang manusia hendaklah berhati-hati dalam memahami sesuatu, agar ia tidak mudah ditipu oleh berbagai teori yang menyesatkan. Kehati-hatian ini terutama ditujukan bagi berbagai teori yang dirumuskan oleh para pakar Barat yang pro Barat dan gemar mengkooptasi dan mendominasi bangsa-bangsa selain Barat.
Kehati-hatian ini penting, karena dalam Naskah “Protocol of Zion” (1897) yang disusun oleh Zionis Internasional, terutama pada point 8 dan 9, disebutkan, “Bangsa Yahudi harus berupaya agar pemimpin di setiap negara adalah orang yang lemah atau berperangai buruk, agar kemarahan rakyat mudah meledak. Bangsa Yahudi harus menempatkan orang-orang yang pro Yahudi pada posisi penting dan strategis di setiap negara.”
Point 8 dan 9 “Protocol of Zion” dapat dicapai melalui pemilihan yang demokratis, dengan cara menggalang dukungan internasional dan para investor bagi calon yang direstui oleh Bangsa Yahudi atau Zionis (Barat), serta didukung oleh peran media massa pro Bangsa Yahudi atau Zionis (Barat) sebagaimana dimaksud point 12 “Protocol of Zion”, yang menyatakan, “Bangsa Yahudi harus mendominasi dan mengendalikan media massa.”
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka demokrasi bukanlah kerakyatan, alasannya:
Pertama, Elizabeth Walter (Cambridge University, 2004) menyatakan, “Democracy is a system of government in which people elect their leaders” (demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana rakyat memilih pemimpinnya).
Kedua, demokrasi tidak mengarahkan caranya pemimpin dipilih, sehingga cara apapun dapat dilakukan. Dalam hal ini termasuk dengan melakukan berbagai kecurangan, dan kerjasama antara calon pemimpin suatu bangsa dengan Pemerintah Barat yang ingin mengkooptasi dan mendominasi bangsa tersebut.
Ketiga, demokrasi juga tidak mengarahkan tujuan seorang pemimpin dipilih oleh rakyatnya, sehingga seorang pemimpin dapat saja memperkaya diri serta membantu kooptasi dan dominasi Pemerintah Barat terhadap bangsanya sebagai tujuan kepemimpinannya.
Keempat, bila ada pakar Barat yang menjelaskan tentang cara pemimpin dipilih dan tujuan pemimpin dipilih oleh rakyatnya dalam demokrasi, maka hal ini hanyalah tipuan teoritis agar bangsa-bangsa yang lemah bersedia menerima demokrasi, karena prinsip dasar demokrasi hanyalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Elizabeth Walter.
Kelima, bandingkan dengan konsepsi “kerakyatan” yang meskipun dijelaskan secara singkat tetapi memberi arahan yang jelas, dalam substansi Sila ke-4 Pancasila yang dimuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sila ke-4 Pancasila menyatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Keenam, dengan demikian “kerakyatan” berarti: (1) sebuah sistem pemerintahan di mana rakyat memilih para wakilnya; (2) yang dalam menjalankan tugasnya, para pemimpin ini diarahkan oleh hikmah atau manfaat dari pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang bijaksana; (3) melalui lembaga musyawarah, yang mendiskusikan dan memutuskan berbagai upaya penyelamatan dan pensejahteraan rakyat baik di dunia maupun di akherat (Sila ke-4 berkorelasi dengan Sila ke-1 Pancasila).
Dengan demikian demokrasi bukanlah kerakyatan, karena demokrasi berbeda jauh dengan makna kerakyatan yang terdapat dalam Sila ke-4 Pancasila. Oleh karena itu, berdasarkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Bangsa Indonesia yang bernaung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia hendaklah tidak lagi menerapkan demokrasi, melainkan lebih memilih kerakyatan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Selamat berjuang… semoga Allah SWT meridhai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar