Minggu, 04 September 2011

RENUNGAN: URGENSI KERAKYATAN BAGI BANGSA INDONESIA

Dalam tulisan atau postingan sebelumnya telah dibahas tentang demokrasi. Telah dibahas, bahwa berdasarkan Pancasila, khususnya Sila Ke-4, Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya tidak mempraktekkan demokrasi. Sebaliknya, Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya mempraktekkan kerakyatan, karena demokrasi berbeda dengan kerakyatan.


“Demokrasi” bertumpu pada asas “suara terbanyak”. Apapun usulannya, bila didukung oleh suara terbanyak, maka usulan itu menjadi keputusan, yang kemudian berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Firman Allah SWT, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta” (QS.6:116).


Dalam kerangka demokrasi yang bertumpu pada asas “suara terbanyak”. Suatu kesesatan, kemaksiatan, atau keburukan dapat diusulkan, dan bila didukung oleh suara terbanyak, maka usulan itu menjadi keputusan, yang kemudian berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Sebaliknya “kerakyatan” sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, khususnya Sila Ke-4, bertumpu pada “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Artinya “kerakyatan” bertumpu pada asas “kebijaksanaan”. Apapun usulannya, bila tidak bijaksana, maka usulan itu wajib ditolak. Sehingga usulan yang dapat menjadi keputusan hanyalah usulan yang bijaksana, yang akan berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengikat dan dapat memaksa segenap warga dan penduduk Indonesia untuk mematuhi keputusan tersebut.


Oleh karena Sila Ke-4 mengacu pada Sila Ke-1 sebagai dasar filosofinya, maka ukuran bijaksana (Sila Ke-4) tidaklah semata-mata ditentukan oleh bangsa atau para pemimpin bangsa, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sila Ke-1).


Allah SWT berfirman, ”Katakanlah, ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepadaNya (dalam kendaliNya). Dia tidak beranak, dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun yang setara denganNya” (QS.112:1-4).


Dengan demikian, ukuran bijaksana adalah seperangkat nilai yang bersumber dari Allah SWT, yaitu seperangkat nilai yang tertuang dalam Al Qur’an, dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam Al Hadist, serta dinasehatkan oleh mayoritas ulama.


Nilai-nilai universal ini tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang antara lain: penghapusan penjajahan di seluruh dunia, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Selamat merenung, semoga faham, dan semoga diberkahi Allah SWT...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar