Liberalisme, adalah suatu faham yang menyatakan bahwa kebebasan adalah nilai utama dalam masyarakat. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia yang terikat pada ketentuan Tuhan (Allah SWT) sebagai pencipta manusia, di mana agar manusia dapat hidup berkualitas dunia dan akherat maka manusia harus tunduk pada Allah SWT.
Allah SWT menjelaskan, bahwa kebenaran itu dari Tuhanmu (lihat QS.2:147 dan QS.18:29). Kalau kebenaran itu berdasarkan kebenaran manusia, maka terjadilah kekacauan di alam semesta (lihat QS.23:71).
Sebagai faham dogmatis andalan Barat, selanjutnya liberalisme dikemas menjadi filsafat, untuk kemudian disusupkan ke berbagai ranah, yaitu:
Pertama, disusupkan ke ranah politik, maka lahirlah dogma demokrasi. Sebagaimana diketahui, demokrasi adalah suatu faham yang menyatakan bahwa pemerintahan yang baik bagi masyarakat adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, di mana keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Faktanya, untuk berpartisipasi dalam demokrasi, misal mendirikan dan menjalankan partai politik atau mencalonkan diri sebagai pemimpin politik, membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena pihak yang bersedia membiayai partisipasi dalam demokrasi adalah pemilik modal, maka pada akhirnya demokrasi diabdikan bagi kepentingan pemilik modal. Dengan rekayasa komunikasi sosial, maka suara terbanyak rakyat dapat diarahkan untuk kepentingan pemilik modal, dan bukan untuk kepentingan rakyat.
Kedua, disusupkan ke ranah ekonomi, maka lahirlah dogma kapitalisme. Sebagaimana diketahui, kapitalisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa pemilik modal boleh melakukan usaha apapun untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Akibatnya terdapat fenomena di mana sedikit orang menguasai banyak sumberdaya, sedangkan banyak orang hanya sedikit menguasai sumberdaya. Contoh statistiknya, 10 % penduduk menguasai 90 % sumberdaya, sedangkan 90 % penduduk hanya menguasai 10 % sumberdaya. Hasil konkretnya berupa kesenjangan dan kemiskinan yang merajalela.
Ketiga, disusupkan ke ranah theologi, maka lahirlah dogma pluralisme. Sebagaimana diketahui, pluralisme adalah suatu faham keaneka-ragaman yang memasuki ranah theologi (ketuhanan), sehingga menganggap semua agama benar.
Akibatnya sulit membedakan antara tuhan palsu dengan Tuhan yang sebenarnya, karena baik yang palsu maupun yang sebenarnya sama-sama diterima sebagai Tuhan. Dengan kata lain terjadi simulacrum dalam agama, yaitu sulitnya membedakan antara yang palsu dengan yang asli. Padahal cara berpikir seperti ini bertentangan dengan agama, sebab sesungguhnya agama hanya mempertuhankan Tuhan yang sebenarnya.
Bukankah Tuhan itu Esa. Bukankah Tuhan itu tempat bergantung semua ciptaanNya. Bukankah Tuhan itu tidak memiliki anak dan tidak layak dianggap anak. Bukankah tidak ada sesuatupun selain Tuhan yang setara dengan Tuhan (lihat QS.112:1-4).
Oleh karena itu, tidaklah sama antara agama yang mempertuhankan Tuhan (Tuhan Sebenarnya) dengan agama yang mempertuhankan tuhan (tuhan palsu). Dengan demikian pluralisme melanggar filosofi kesamaan (dasar sesuatu disebut sama).
Bukankah dalam Perspektif Perbandingan Agama setiap agama sah melakukan truth claim (pengakuan kebenaran). Oleh karena itu, masing-masing agama memiliki truth claim yang berbeda-beda, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip kesamaan.
Sesungguhnya Allah SWT telah memilihkan Agama Islam untuk manusia, maka janganlah mati melainkan dalam keadaan muslim (lihat QS.2:132). Meskipun sesungguhnya pula tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, karena sudah jelas jalan yang benar dengan yang salah (lihat QS.2:256). Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah SWT hanyalah Islam (lihat QS.3:19). Oleh karena itu sangat mengherankan jika ada manusia mencari agama selain Islam (lihat QS.3:83). Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima agamanya itu (lihat QS.3:85).
Keempat, disusupkan ke ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka lahirlah dogma sekularisme. Sebagaimana diketahui, sekularisme adalah suatu faham yang menyatakan bahwa sebuah institusi, badan, lembaga, atau negara harus terpisah dari agama.
Akibatnya, Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT (Tuhan yang sebenarnya, lihat QS.112:1-4) tidak berkesempatan berkontribusi bagi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Padahal kebaikan yang dapat dikontribusikan oleh Islam adalah kebaikan dalam perspektif Allah SWT (Pencipta manusia).
Allah SWT mengingatkan, “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS.51:56).
Seiring ibadahnya kepada Allah SWT, dan sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, maka seorang manusia diperintahkan untuk memberi manfaat optimal bagi lingkungannya atau rahmatan lil’alamiin. Allah SWT berfirman, “Dan Kami tiada mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil’alamiin” (QS.21:107).
Seorang manusia yang beriman dan beramal Islami akan mampu hidup dalam koridor aqidah, ibadah, muamallah, adab, dan akhlak. Dengan berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku fathonah, amanah, shiddiq, dan tabligh.
Hal ini akan menjadikan seorang manusia mampu berperan sebagai mujahiddin (pembela kebenaran), uswatun hasanah (teladan yang baik), assabiquunal awwalluun, dan sirajan muniran. Akibatnya akan terbangun peradaban yang transenden, humanis, dan emansipatoris.
Saat itulah seorang manusia akan disambut oleh Allah SWT sebagaimana firmanNya, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah dalam surgaKu” (QS.89:27-30).
Bagi masyarakat sekular, ibadah mereka tidak akan mendorong mereka untuk rahmatan lil’alamiin. Akibatnya tidak ada yang berperan sebagai mujahiddin, uswatun hasanah, assabiquunal awwalluun, dan sirajan muniran. Akhirnya tidak pernah terbentuk peradaban yang transenden, humanis, dan emansipatoris.
Renungkanlah, semoga Allah SWT meridhai…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar